Allah subhanahu
wata’ala menciptakan manusia di muka bumi ini agar manusia itu menjadi
hambaNya yang terbaik, menjadi orang yang mampu mengemban beban besar, mampu
berkompetisi dengan sesama, bahkan ketika manusia itu masih berupa sel-sel
mani, Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan mereka saling
berkompetisi untuk menuju sel telur sehingga bisa menjadi manusia utuh.
Dalam
hidup manusia seringkali dihadapkan dengan banyak pilihan, ada yang dengan
kesadarannya sendiri memilih suatu keadaan tertentu, ada juga yang dikarenakan
pilihan orang tua atau pilihan dan dorongan seorang teman, sehingga dari
sinilah hasil hidup mereka diukur untuk menjadi yang terbaik.
Pilihan
adalah bagian dari tujuan, karena sebuah tujuanlah manusia memilih suatu jalan,
tinggal manusia itu sendiri yang menentukan sebesar apa target yang ia pilih,
sehingga semakin besar target yang ingin ia dapatkan maka semakin besar pula
peluang komitmennya untuk merealisasikannya.
Rasulullah
shallallhu alaihi wasallam telah mengajarkan kita untuk membuat target
setinggi-tingginya. Beliau bersabda:
“mintalah
firdaus yang paling tinggi”
Mengapa
manusia mesti mentarget hidup dengan setinggi-tingginya, apakah manusia
dianjurkan untuk ambisi dalam mendapatkan sesuatu? Tentu saja bukan itu
maksudnya. Dari target yang besar dan tinggi tersebut akan membuat manusia
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya, sehingga dengan usaha
tersebut jangan sampai melupakan doa dan tawakkal pada Allah subhanahu
wat’ala, karena manusia hanya bisa merencanakan planingnya ke depan dan
hanya Allah-lah yang menentukan semuanya.
Dalam
perjalanan mencapai target bukanlah sesuatu yang mudah mencapainya semudah
membalikkan telapak tangan, di dalamnya harus ada kesungguhan, kesabaran,
pengorbanan dan keikhlasan hati. Makanya ketika Nabi Musa alaihi salam ingin
berguru kepada Khidir, pada dasarnya beliau telah mentarget ingin mendapatkan
ilmu yang banyak dari nabi khidir tersebut tapi karena nabi Musa kurang
bersabar dengan syarat-syarat yang telah disepakatinya agar jangan
mempertanyakan sesuatu sampai nabi Khidir sendiri yang menjelaskannya, maka
ilmu yang ia dapatkan hanya sampai di batas perjanjian mereka saja. Rasulullah
salallahu alihi wasallam mengatakan:
“seandainya
musa bisa bersabar sedikit saja niscaya akan lebih banyak lagi ilmu yang akan
ia dapatkan”
Khalid
bin walid Adalah seorang sahabat yang selalu merindukan syahid dalam
peperangan melawan kaum kuffar, sehingga ketika ia “dipecat” oleh
khalifah umar bin khatab radhiyallahu ‘anhu dari kepemimpinannya beliau
langsung berkata “semoga Allah memberkati umar yang telah menjadikan aku
perajurit dalam peperangan ini, karena ketika aku menjadi panglima aku harus
lebih banyak bertanggung jawab terhadap prajuritku, tapi ketika aku sudah
menjadi prajurit biasa, aku telah menjadi bebas untuk mendapatkan cita-citaku
yaitu syahid di jalan Allah” sungguh kata-kata yang luar biasa,
kata-kata yang hanya keluar di mulut orang yang lebih luar biasa pula, namun
Khalid hanyalah seorang manusia yang hanya bisa bercita-cita namun Allah-lah
yang berkehendak. Khalid tidak syahid di peperangan tapi ia syahid
di atas kasurnya sendiri.
Cita-cita
tinggi harus selalu diulang-ulang dalam do’a agar tetap tumbuh subur menyemangat
setiap langkah, agar tidak luntur begitu saja ketika suatu kendala sedikit
menghalangi. Cita-cita tinggi benar-benar harus menyatu dengan fikiran agar ia
menjelma tabiat yang positif. Pengulangan kata adalah sebuah kesinambungan
untuk menyatukan antara target besar dengan kerja keras, sehingga setiap desah
nafas yang dihembuskan selalu ada semangat yang bergejolak.
Kekuatan
berkorban mengajak manusia untuk lebih bersabar menempuh perjalanan panjang,
karena cita-cita tinggi harus dilandasi dengan niat yang agung, jangan sampai
target yang diplaningkan terikuti oleh hawa nafsu. Ketenangan jiwa adalah
keutuhan dalam menyeimbangkan kestabilan emosional dan pengendalian diri dengan
baik, sehingga rencana yang telah tersusun rapi benar-benar menimbulkan tekad
yang bulat dan menyerap dalam keimanan yang kuat.
Maka
tidak heran kalau seorang Huzaifah ibnu al-yaman mengurungkan niatnya untuk
membunuh abu sufyan ketika ia diutus Rasulullah shalallahu alihi wasalam
untuk memeriksa kekuatan musuh pada perang khandaq atau ahzab, karena tujuan
dasarnya adalah hanya meriksa kondisi musuh bukan untuk membunuh, jadi
rencananya yang matang benar-benar terealisasi dengan rapi tanpa terpengaruh
oleh tarikan hawa nafsunya.
Kekuatan
tekad seorang huzaifah adalah kekuatan sempurna, kekuatan yang jarang dimiliki
kebanyakan orang zaman modern sekarang, namun kekuatan sempurna tersebut tidak
tercampur dengan ambisi yang buta. Dia benar-benar tahu sabda Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam tentang besarnya ganjaran bagi pejuang fi sabilillah
bahkan ia tahu betul akan nikmatnya syahid di jalan Allah, tapi itu
semua tidak mengantarkannya pada kekuatan yang hitam yang akan membatalkan
cita-cita tertingginya.
Anis
matta mengatakan “tekad adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam
wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad juga energi jiwa yang
memberikan kekuatan pikiran, memang tekad bukan segalanya tapi tanpa tekad
takkan ada segalanya.” Kekuatan tekad-lah yang menjadikan Nabi Nuh alaihi
salam berdakwah terus menerus mengajak kaumnya kembali kepada Allah subhanahu
wata’ala, walaupun pengikutnya tetap tidak bertambah, karena Nuh tahu Allah
tidak melihat hasil dari dakwahnya akan tetapi Allah melihat kerja kerasnya dan
tekadnya yang kuat.
Kemenangan
kaum muslimin dalam setiap peperangan disebabkan tekad mereka yang membaja,
tekad akan cita-cita mengalahkan kaum kuffar dengan keimanan yang telah
menyatu di hati mereka. Perang badar adalah salah satu contoh bagaimana
keyakinan mereka akan kemenangan itu tanpa rasa ragu dan tanpa rasa sombong.
Kemenangan mereka adalah kemenangan iman, kemenangan mereka adalah kemenangan
yang berkesinambungan untuk perjuangan yang akan terus menyapa hidup mereka.
Lalu,
kalau cita-cita itu adalah perjuangan yang harus diseimbangkan dengan kegigihan
kerja, mengapa masih ada diantara manusia yang selalu berangan-angan kosong
tanpa kerja nyata? Banyak sekali para pendewa ideologi tinggi tapi mereka jatuh
di tengah jalan. Para sahabat pun ada yang
pernah jatuh di jalan cita-citanya lalu bangkit lagi dan segera menginsafi diri
untuk tetap istiqamah di jalanNya. Terjatuhnya para sahabat dalam menjalani
hidup bukanlah sesuatu yang ironis namun karena mereka hanyalah manusia biasa
yang tak pernah luput dari kesalahan, terjatuhnya mereka adalah sebagai contoh
bahwa manusia hanyalah manusia biasa dan amat lemah.
Tiga
orang yang tidak ikut dalam perang tabuk adalah contoh bagaimana sesungguhnya
cita-cita besar itu jangan sampai dianggap remeh. Mereka adalah orang yang
tidak pernah melanggar perintah Nabi, tapi pada saat datang panggilan untuk
segera memenuhi panggilan jihad tersebut, mereka tidak segera tanggap karena
beranggapan tidak akan terlalu membebankan. Ketika semua orang sudah mulai
mengangkatkan kaki, mereka tetap saja bersantai ria dan pada akhirnya mereka
tertinggal jauh dari rombongan, mau menyusul pun sudah tidak mungkin kesusul.
Teguranpun harus membuat hati mereka sempit selama empat puluh bulan tanpa
satupun yang menyapa dan memberi ucapan salam hangat. inilah cita-cita besar ia
adalah cita-cita agung yang harus terus menerus dikumandangkan agar tidak
lalai.
Tiga
sahabat yang tidak ikut dalam perang tabuk tersebut juga sebagai contoh agar
manusia jangan sampai menunda-nunda suatu pekerjaan. Kalau ia dapat
melakukannya dengan segera maka jangan lagi menunda-nunda. Sur’atul
istijabah atau bersegera dalam memenuhi suatu panggilan. Bersegera dalam
memplaningkan hidup, bersegera dalam meraih cita-cita, dan bersegera menuju
pengampunan Tuhan.
“dan
bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu yang ganjarannya adalah surga seluas
langit dan bumi…”
Bersegeralah
menuju kebahagiaan, bersegeralah menuju kehidupan abadi, dan bersegeralah
menggapai cita-cita tinggi dan mulia.
Akhirnya,
hidup manusia hanyalah sarana untuk berbekal diri agar bisa bertemu dengan sang
maha agung dengan muka berseri, agar di dunia pun dapat menjadi sebaik-baik
manusia yang selalu menyerukan kebaikan dan mencegah segala kemunkaran.
“kalian
adalah sebaik-baik ummat yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran dan
beriman kepada Allah subhanahu wata’ala…” (QS. Ali Imron: 110)
apa benar manusia lahir bahkan masih berbentuk sel sudah berkompetisi?...apakah benar kehidupan ditujukan untuk kompetisi dan perlombaan?
BalasHapus