Ketika Harus Menangis
Menangis, tak hanya persoalan anak kecil, orang dewasa pun bisa menangis. Ada tangis bahagia, ada tangis luka. Keduanya kadang mewarnai sela-sela kehidupan kita. Tangisan adalah fitrah manusia. Sebuah kewajaran ketika kita pernah menangis, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Ketika menangis, segala perasaan tertumpah ruah di mana kadang kita sampai lupa pada akal sehat yang semestinya berjalan. Luapan emosi tak tertahankan, mengalir bersama setiap tetes air mata kita.
Saya yakin, anda pun pernah menangis…?
Entah dalam moment apa. Ketika seseorang menangis, jelas batin yang sedang berbicara. Hatinya terusik. Jika sudah demikian, biarkan untuk sejenak membiarkan mereka. Biarkan sampai puas, toh pada saatnya akan reda. Baru, setelahnya, kita ajak berbincang mengenai persoalan yang dihadapainya. Cara yang terbaik adalah bicara dari hati ke hati. Jika kita melihat kesalahan ada pada dirinya, biarkan mereka meluahkan segalanya lewat kata-kata yang mungkin terlontar. Menyalahkah sikapnya, bukan cara yang bijak pada kondisi seperti itu.
Mengapa secara tiba-tiba saya menulis tentang persoalan remeh seputar menangis. Ya, karena sering saya tak tega melihat orang menangis. Ketika ada orang yang sedang menangis, kadang saya suka menungguinya sampai selesai. Ketika tangisan sudah reda, baru saya mencoba untuk mendengarkan keluh kesah yang dihadapinya. Bukan untuk sok bijak, hanya mencoba untuk belajar peduli saja dengan perasaan yang sedang diderita seseorang.
Menangis memang sangat terkait dengan kondisi jiwa. Jiwa yang sedang tertekan, merasa cobaan begitu berat. Atau kehilangan orang yang kita cinta. Kadang hati kita merasa hancur, tak ada lagi harapan. Begitulah kondisi jiwa kita yang bisa jadi pernah kita rasakan. Dan kalau memang tak tahan, menangislah sepuasnya. Asal setelahnya, kita bisa memaknai setiap tangisan itu. Memaknai mengapa kita mesti menangis, apakah dengan menangis saja persoalan bisa terselesaikan. Kelak, anda akan menyadari dengan sendirinya.
Lantas, apakah menangis identik dengan kecengengan..?
Tidak juga.
Justru, tangisan bisa jadi pertanda kelembutan hati kita. Contoh nyatanya, mungkin anda pernah menyaksikan anak-anak pengamen jalanan yang harus bekerja keras mendapatkan sesuap nasi, gelandangan yang bertebaran dijalan-jalan atau mereka yang harus rela tidur di emper-emper toko karena tak punya rumah. Jika anda menangis, sekedar sekali saja meneteskan air mata atau setidaknya batin anda menangis. Itulah tanda kelembutan. Sebuah potensi nurani yang perlu dipupuk. Kelak, kondisi yang demikian yang akan mengantarkan kita pada kepedulian nyata membantu orang-orang yang sedang tertimpa kesusahan.
Begitu juga ketika kita menyadari pernah berlaku dholim terhadap orang lain, atau kita merasa banyak dosa. Tak mengapa anda menangis. Apalagi bagi seorang muslim. Menangis bisa menjadi refleksi atas tingkap polah kita selama ini. Sendiri dimalam hening, beranjak takbir melaksanakan sholat tahajud, bisa menjadi terapi yang baik bagi kebersihan jiwa kita.
Pada malam yang demikian, menangislah. Menyadari akan eksistensi diri sebagai seorang hamba, menyadari betapa tingkah polah kita banyak yang salah, mendholimi orang, atau dosa-dosa berlumuran. Sekali lagi, menangislah. Asalkan setelahnya kita bisa mengambil makna dari setiap tetes tangisan kita.
sumber: http://www.eramuslim.com/oase-iman/ketika-harus-menangis.htm
0 comments:
Posting Komentar