Senja mulai menampakkan dirinya, tapi di kota sebesar Jakarta ini bagiku sama saja tak ada yang indah atau sesejuk tempat di mana aku dilahirkan, hanya keramaian dan gedung-gedung tinggi menjulang saja yang banyak membuat manusia ingin menginjakkan kota ini. Tak ada kicau burung yang akan menghibur hati yang sedang lara, tak ada juga pohon yang benar-benar rindang yang akan membuat hati terasa sejuk dan nyaman, yang ada hanyalah pepohonan yang ditanam di tempat tertentu yang hanya dimuati oleh para remaja tanggung yang entahlah apa yang mereka kerjakan, yang jelas aku selalu melihat mereka berpasang-pasangan, berpelukan bahkan bermanja-manja satu sama lainnya, padahal yang kutahu mereka bukanlah muhrim, yah memang zaman semakin edan, ups..! bukan zamannya yang edan tapi generasi zaman tersebut yang semakin gak karuan.
Perjalanan sore ini benar-benar pengalaman yang mungkin sangat berharga bagiku, ini perjalanan pertamaku pergi ke provinsi aceh, apalagi perjalanan ini menggunakan pesawat terbang dan gratis pula tanpa mengeluarkan sepeser pun uang dari kantongku. Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Sekali-kali aku mengerlingkan mata ke sekitar airport yang penuh dengan manusia yang akan berangkat ke luar negeri, ada yang umroh, jadi TKI dan ada pula yang hanya ingin menghabiskan liburannya di negeri tetangga.
Sebelum berangkat kami terlebih dahulu melaksanakan sholat ashar, karena perjalanan kami dimulai pukul 16.00. selesai sholat ashar kami langsung pergi ke pesawat mencari tempat duduk yang memang sebelumnya panggilan untuk kami agar bersiap-siap telah menghampiri telinga kami. 
Sampai di pesawat kami sibuk memperhatikan para pramugari yang memberi aba dan petunjuk alat yang harus kami lakukan kalau dalam keadaan gawat darurat. Dengan rifleks kami langsung menundukkan kepala dan mengucapkan doa di dalam hati. Pesawat mulai bergerak, keindahan dan tentram sangat terasa menghiasi pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang. Allahu akbaaaarrr. Aceh!!! We are coming..!!!
#          #          #
Tepat maghrib aku dan ade sampai di airport polonia kota medan Sumatra utara, perjalanan lebih kurang dua jam yang kami tempuh sedikit melelahkan sekaligus melegakan walaupun kami sendiri hanya duduk manis di atas kursi pesawat.
“kita sholat maghrib dulu yuk, sambil nunggu jemputan.!!!”
“Ok.”
Selasai chek out kami langsung menuju mushollah yang ada di sana dan langsung menunaikan sholat maghrib sekaligus jama’ dengan isya’. Tidak lama kami sholat, tiba-tiba HP temanku berbunyi.
“ya halo, waalaikumu salam. Mmm.. ya oh.. ok. Ok. “
“wan.! Kita disuruh naik taksi, mobil jemputan lagi pecah ban”
“Terus, kita disuruh berhenti di mana? Emang berapa lama lagi kita sampai ke aceh?” tanyaku sambil membenarkan retsluting jaket.
“katanya sih kita ikut aja ma taksinya entar sopirnya bakal dikasih tau. Ya kira-kira sampai subuh kita baru sampe”
Meski tampak lesu kami langsung menuju ke tempat pemesanan taksi untuk segera menuju tempat yang diinstruksikan.
Malam semakin garang menampakkan kegelapannya, namun cahaya lampu tak mau kalah menghiasi pojok kota medan. Wajah temanku terlihat bias keletihan, barang yang dibawah lumayan banyak dan berat, perjalanan terus melaju menerjang keindahan kota medan.
“dari mana pula rupanya abang ini?” sopir taksi angkat suara mengisi keheningan dengan logat bataknya.
“dari Jakarta bang” seolah malas menjawab pertanyaan sopir tersebut temanku hanya menjawab sekedarnya dan aku hanya diam tak karuan. Sampai tempat mobil jemputan tak ada lagi cakap diatara kami, kecuali keheningan dan sekali-kali sopir taksi mengelap kaca menghusap yang basah kena rintikan hujan.
Perjalanan pelan hingga sampailah kami pada suatu tempat yang kami sendiri belum kenal sama sekali tempat tersebut. Dan di situlah kami bertemu dengan orang yang menjemput kami, yang akhirnya kami kenal kalau ia adalah ust mujiono.
"ustad..!! berapa lama lagi kita sampai ke aceh?" tanyaku berbasa-basi.
"sekitar enam jam lagi akh" jawabnya saraya mengangkat barang kami ke bagasi mobil.
Selesai mengangkat barang dan memasukkannya ke bagasi, kami langsung naik semua ke dalam mobil. Perlahan mobil yang kunaiki mulai berjalan. Ternyata ustadz mujiono nyetirnya lumayan kencang sehingga aku sulit sekali untuk memejamkan mata dan untuk menghilangkan kejenuan kami saling bertukar cerita sambil mendengarkan lagu-lagu daerah yang akhirnya aku mulai tau kalau itu lagu khas suku alas. Kulihat di samping temanku ade sudah mulai pasang kuda-kuda untuk memejamkan mata. Ia memang selalu lebih nampak letih dari pada aku. Fisiknya agak lemah, begitu kata ibunya sebelum kami berpisah kemarin.
Hampir dua puluh menit sudah jiwa kami terhempas memecah malam bersama kendaraan yang selalu menggoncang tubuh kami, kuperhatikan dari awal ternyata ust. Mujiono, mengemudi sedikit agak kencang, dari ceritanya ia adalah mantan balap liar yang sering ia lakukan waktu sekolahnya dulu. Lebih khawatir lagi aku belum terbiasa naik mobil dengan kekuatan tinggi di daerah jalan yang berliku-liku dan juga nanjak seperti naik gunung. Lucunya tatkala kami menginjak sebuah lubang besar dan kami pun bergoncang hebat ustad mujiono hanya bilang "maaf ustad lubangnya sih pasrah gak mau minggir". Aku hanya senyum kecut mendengar kata itu sambil berkata "memang sekali-kali kita juga harus pasrah untuk tidak menabraknya ustad" ustad itu pun tertawa dan teman-teman yang ada di dalam mobil pun ikut tertawa.
Perjalanan kami memang mengasikkan, cerita-cerita ringan pun tak pernah lepas dari mulut sang sopir. "sebenarnya kita akan lebih menikmati perjalanan ini kalau kita berangkat di waktu sore hari ustad, karena hari masih terang dan hawanya pun terasa sejuk." Begitu kata ustad mujiono yang memang sudah pekerjaannya pulang balik dari kuta cane ke medan. Tapi lama-lama mataku mulai berat mana perut sudah meronta-ronta ingin diisi yang memang dari siang tadi belum makan. Akhirnya sempurna sudah mataku menutup bolanya.
Aku baru tersadar tatkala dibangunkan untuk makan malam, kulirik jam di HPku menunjukan pukul 01.15.
"kita udah sampai dimana nih ustad?" tanyaku sambil membenarkan posisi tempat duduk.
"di tigabinanga, kita makan dulu, perjalanan kita sekitar tiga jam lagi tad"
Kami langsung turun dari mobil, sungguh aku merasakan hawa yang luar biasa sejuk, aku teringat akan kampung halamanku yang hawanya pun lebih dingin dari sini. Selesai makan kami istirahat sekitar beberapa menit baru kami melanjutkan pejalanan, ingatanku masih terngiang tatkala aku menelfon ibuku di rumah, ia benar-benar terkejut waktu kukabarkan aku dapat amanah pengabdian di aceh, ia begitu khawatir dan tak ayallah semua peristiwa yang mengerikan ia ceritakan, mulai dari tsunami, GAM dan lain sebagainya, maklum orang tua selalu khawatir akan anaknya. Pertanyaan dan kekhawatiran itu redah tatkala kujelaskan semuanya bahwa aceh sekarang tidak sengeri yang ia gambarkan "yang penting do'a dari ibu" ujarku.
Tepat jam 04.30 kami sampai di kutacane dan kami langsung menuju sebuah pesantren yang kelak akan menjadi tempatku mengajar sekaligus menjadi sebagian dari sejarah hidupku, kami disambut oleh mudir pesantren tersebut yaitu ustad Imran Arif Sya'ban, Lc. Terus terang sampai di pesantren aku begitu ingin sekali tidur, namun baru saja aku memejamkan mata ustad imran sudah membawa segelas susu hangat, akhirnya musnah sudah ngantukku walaupun capek tak dapat kuhindari tetap memasung tubuhku. Ade Falah temanku terlihat letih sekali aku tidak tega memaksanya untuk bangun, kubiarkan saja ia istirahat sampai subuh menyapa kami.
#          #          #
Hari pertama di pesantren aku sudah merasakan seperti satu tahun. Tak taulah aku merasakan semuanya seperti hampa, minggu pertama bosan langsung menghampiri, sebab aku belum beradaptasi dengan lingkungan yang ada, anak-anak masih libur, pendaftaran siswa baru sudah ada yang ngurus. Untungnya pimpinan pesantren langsung menugaskan untuk mengisi daurah loghah untuk siswa senior yang memang mereka tidak pulang meski pun libur, dan kebosanan itu sedikit terobati.
Menginjak minggu kedua aku ikut kepanitiaan testing murid baru, dan jiwaku pun mulai menerima keadaan. Kegiatan yang ditunggu-tunggu mulai menghampiriku, Hingga kembalinya para siswa lama ke pesantren mambuatku semakin merasakan betapa indahnya kebersamaan. Anak-anak yang masih kecil, lugu terkadang menjengkelkan mulai kutemui. Namun itu semua kuanggap sebagai tantangan untuk tetap menjadi pendidik sejati. Tatkala penat mulai datang menyapa aku selalu mengingat pesan dosenku "ingat kalian di sana untuk mengabdikan diri kalian kepada masyarakat, jangan pragmatis dan juga materialistis. Perbaiki selalu niat kalian" begitulah sabait pesan yang selalu membuatku semangat menjalani khidmah ini.
Awalnya aku sangat keras menghadapi anak-anak, bukan berarti aku emosi dengan tingkah mereka, tapi lebih dari itu aku ingin yang terbaik buat mereka, sungguh terkadang miris sekali hati ini tatkala banyak diantara mereka yang banyak tidak mengerti apa sebenarnya disiplin. Aku sendiri terkadang ingin menangis melihat perlawanan mereka dengan peraturan.
Terlebih lagi godaan yang paling dahsyat adalah tatkala aku mulai tau ternyata diantara anak-anakku yang putri ada yang mirip dengan orang yang pernah singgah di hatiku, sungguh aku bukan mengada-ada, senyumnya, sifatnya yang agak malu-malu dan terkadang matanya yang suka curi-curi pandang persis sekali dengan dia yang sekarang gak tau rimbanya… ya Rabbi kuatkan hambaMu ini. Hindarkan segala keluhku yang negative itu agar aku dapat memberi mereka ilmu hikmah tanpa ada perasaan-perasaan yang salah yang dapat membuatku pilih-pilih.
"ustad…! Kenal sama ustad wiwin kan?" sapa salah seorang anakku yang sudah senior.
"ya ustad kenal, dia satu angkatan sama ustad waktu di pesantren dulu. Kenapa?"
"nggak apa-apa ustad. Kalau sama ustad wing?"
"juga" jawabku singkat"
"kalau ustazah laila?" tanyanya lagi antusias.
"ya. Bahkan semua guru yang dari palembang yang pernah mengajar di sini" jawabku tanpa ingin mengecewakannya.
Lalu mengalirlah semua kenangan yang pernah ia jalani bersama dewan guru yang ia sebutkan di atas. Dan yang paling parah adalah ketika mereka mulai membanding-bandingkan antara ustad satu dengan yang lainnya.
Akhirnya sempurna sudah jejak langkahku menjadi guru paling antagonis di pesantren ini. Tatkala pelajaran dimulai dan kulihat masih banyak anak-anak yang berada di dapur, seketika aku datang dengan membawa sebilah kayu, dan tak ayal mereka lari tunggang langgang menyaksikan aksiku, di antara mereka ada yang mulutnya masih dipenuhi nasi, ada yang minum sambil lari menghindari sapaan kayuku, terus terang aku ingin tertawa tapi itu aku simpan dalam hati agar mereka tau kalau aku serius, setelah kejadian itu aku langsung ke kamar melampiaskan tawaku. Terus terang aku memang mudah marah tapi kalau melihat sesuatu yang jenaka tawaku sulit untuk kutahan. Di kamar lepas sudah tawaku memecah sunyi sekaligus meredam emosiku.
Malamnya, seperti biasa para santri belajar malam di kelas masing-masing. Kulihat di antara mereka ada yang main kejar-kejaran, duduk-duduk bercerita entah apa alurnya, bahkan ada yang usil mengganggu teman mereka yang sedang serius belajar. Aku hanya dapat memperhatikan tingkah laku mereka, menikmati setiap gerak mereka dengan mengelus dada menahan amarah.
Sungguh aku ingin menjadi pendidik sejati, bukan hanya sekedar pengajar yang hanya mentransfer ilmu tanpa memberikan nilai-nilai moral. Aku ingin menjadi tenang melihat kegembiraan mereka, ingin tersenyum bahagia melihat kesuksesan mereka kelak. Saat mereka ingat lagi akan pesan-pesan spiritual dan "fatwaku" mungkin mereka sudah lupa dari mana mereka dapat pesan itu, bagiku itu tidak masalah yang penting mereka tetap memegang moral-moral yang selalu kusampaikan lewat nasihat dan wejanganku.
#          #          #
"Treet…tre..eett.." Bel dibunyikan tanda apel pagi di mulai, pagi ini adalah jadwalku taujih di depan anak-anak. Kuceritakan kepada anak-anak tentang perjuangan sahabat Nabi dalam memperjuangkan islam dan bertahan atas caci maki serta siksaan orang-orang kafir quraisy lalu kuqiaskan kepada mereka agar mereka selalu bersabar dan tekun dalam menuntut ilmu, tegar dalam menghadapi sulitnya menerima pelajaran. Selesai taujih aku masuk ke kelas untuk mengajarkan kepada mereka ilmu hikmah. Di antara mereka ada yang mengantuk tatkala pelajaranku berlangsung lalu kubangunkan dia dan kusuruh berwudhu'. Di antara mereka juga ada yang main-main lalu kutegur agar tetap memperhatikan pelajaran.
Aku masih ingat tatkala pertama kali aku memperkenalkan diri pada mereka, di antara mereka ada seorang siswi yang iseng bertanya "ustad statusnya apa?" yang lain pada tertawa dan nyeletuk "hus.. yang pastinya masih single lah, ya ustad kan??" aku hanya tersenyum melihat lagat mereka. Lalu spontan kujawab pertanyaan mereka "sudah menikah" dan mereka pun terkejut gak percaya
"hah. Bercanda ustad ni" serentak mereka.
"yah, ustad punya istri satu, anak satu. Sekarang dia tinggal di palembang"
"yah… gak ada kesempatan lagi ni" celetuk siswi yang duduk paling pinggir dengan disoraki sama yang lain.
"hhuuuu…"  
Sungguh aku baru kali ini mengajar di pesantren yang siswa siswinya dicampur, sehingga ia menjadi tantangan yang terbesar bagiku. Terkadang kalau lagi ada di antara mereka yang bertanya tidak segan-segan mereka mendekatiku yang mungkin jaraknya hanya sepuluh centi, terlebih lagi anak-anak yang SMP. Sifat mereka yang sedikit suka bermanja dan cari perhatian terkadang membuat aku tak bisa menahan emosi. Kalau lah bukan rahmat dari Tuhan pastilah aku sudah menjadi guru yang tak dapat menahan naluri kiri. Nauzubillah.
Di sisi lain aku selalu merasakan kasihan kalau melihat anak-anak yang sulit mengerti dengan pelajaran, lebih parah lagi kalau ada di antara mereka yang secara intelektual sangat rendah, disiplin pun tidak ada, manja lagi, uh.. kalau bukan ingat bahwa itu adalah suatu proses untuk mencapai sesuatu yang gemilang, mungkin sudah habis ia kena hukuman dariku.
Ketika ada salah seorang senior mereka bilang "ustad bodoh bisa dirajai" aku sangat sedih, begitu polosnya mereka membebaskan otak dan alur fikir mereka menuju kehidupan yang mungkin hilangnya keberkahan dalam menuntut ilmu. Banyak sekali di antara mereka yang kalau disusruh disiplin menetang bahkan melawan. Emosiku tekadang memuncak sehingga nyaris mengalahkan ideology yang kumiliki. Belum lagi harus berhadapan dengan orang tua mereka yang terlalu "sayang" dengan anaknya, sehingga bila anaknya melaporkan dengan suatu perkara, tak ayal ia pun tanpa klarifikasi lagi mengamuk menyalahkan guru-gurunya. Sungguh, hanya Tuhanlah yang maha tahu akan segala isi hati manusia.
Waktu itu selepas magrib, ketika kami dewan guru yang tinggal di ri'ayah (kantor pengasuhan santri) sedang membaca Al-qur'an, tiba-tiba datang seorang santri melaporkan bahwa di masjid ada seorang wali santri mengamuk karena anaknya dihukum oleh senior mereka, tak ayal dari ujung ke ujung para santri ribut menyaksikan kejadian itu bahkan menarik perhatian ummi pesantren. Mungkin sangking marahnya orang tua santri tersebut sampai mencaci-caci ummi tersebut bahkan ketika dia mencari-cari santri senior yang menghukukm anaknya tersebut dia bilang para dewan guru menyembunyikan santri senior itu yang memang ia langsung pergi ke ri'ayah untuk minta perlindungan, maka dia datang ke ri'ayah dan tatkala menemukannya orang tua tersebut dengan mengamuknya langsung memukul anak tersebut beberapa kali dan mungkin aksi itu tidak akan berhenti kalau tidak kami yang menahannya. "kalian guru tidak becus…" ujar sang orang tua beringas.
Besok pagi harinya aku yang memang ditugaskan sebagai ketua ri'ayah langsung koordinasi dengan kepala sekolah untuk memanggil orang tua santri tersebut untuk menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan. Namun belum selesai kami berbincang-bincang orang tua itu sudah datang dengan permintaan maaf dan sekaligus minta surat pindah untuk anaknya.
#          #          #
Embun telah menatapku sejak beberapa menit yang lalu. Menceritakan tentang sejumput asa, hari ini aku ingin menatap wajah cerah anak-anak didikku. Menatap mereka dengan tatapan cinta yang hakiki, menikmati setiap celoteh mereka dengan hangatnya tatapan anggun matanya. Tatapan yang selalu mengetuk jiwaku dan memanggil-manggil untuk terus mengajari mereka tentang ilmu hikmah. Inilah hari yang selalu kunanti setiap detik. Alangkah semua bisikan jiwaku itu hanya ungkapan berlalu dan tak pernah kunjung datang kepadaku.
Mentari tak seberapa beringas karena ini pelajaran jam pertama. Kuhampiri satu muridku yang dari tadi tidak memperhatikanku. Kutatap wajahnya hingga ia terlihat cemas menunggu apa yang akan terjadi, ketakutannya semakin menerkam hatinya hingga ia mulai memainkan tapak tangannya di bilik dadanya. kakiku makin dekat dengannya. Ia semakin gelisa ingin cepat-cepat lari layaknya seekor domba yang hendak berlari jauh dari sergapan srigala buas.
“Braaaaak….” serta merta suara keras mencuat akibat hentakan tanganku menyergap meja tua berwarna coklat di depannya.
Semua siswa-siswiku tersentak kejang. Wajah mereka menyimpan berjuta degukan jantung dan mengelus-elus dada sambil berucap istighfar.
“Apa kata kalian tadi?” bentakku lantang tanpa ampun.
Wajah bringas yang kutampakkan membuat siswa yang kuhampiri tunduk pasi. Tatapannya tak mampu menembus pelototan mataku. Kutarik tangannya agar ia dapat mengikutiku ke depan, Dalam kebisuan yang tak tertata siswa itu membuntutiku cemas.
“push up 20 kali” kusambung ucapanku kemudian.
Dalam kebisuan dan kekecewaaan siswa itu menuruti perintahku. Denyutan jantungku makin tak tertata, Kata-kataku bergetar dan sekujur tubuhku mengeluarkan keringat.
Rasa kasihanku mencaciku seakan aku tega menghukum murid yang sangat tak tau apa-apa. Kegundahan hatiku berkata, aku harus bagaimana? Tolong, katakan kepadaku. Apa yang harus kulakukan agar engkau tak ramai sendiri wahai anakku, saling lempar pulpen, saling berbisik di balik kelengahanku. Engkau tak menghargai kataku. Engkau bicara ketika aku sedang bicara tentang ilmu hikmah. Engkau bercanda ketika aku sedang serius membimbingmu. Meski tak pernah kubiarkan sekecil luka melekat di hatiku akibat kesalahanmu. Tetapi, apalah daya aku tak mampu mengontrol kekecewaan yang selalu kudapati setiap menit, bahkan setiap detiknya. Teriakan lantangmu telah memecah segala mutiara yang hendak kuberikan kepadamu. Tapi sirna, semua mutiara itu telah terkubur bersama murka yang kulampiaskan bersama kemarahan yang berakhir seperti ini. Akhirnya kita gak belajar pagi ini kan? Padahal waktu-waktu seperti inilah keberkahan dan kematangan ilmu itu mudah didapat.
Kusapa gerakan push up muridku, sungguh, aku tak tega tuk memperlakukan murid yang telah diamanahkan tuk kudidik, kubimbing, kusayangi, dan bahkan kucintai. Deraian keringat meneteskan butiran kesedihan yang membuat bola mataku miris memandangnya. Demi, Allah, aku benar-benar kasihan menatapnya.
Apa yang kualami hari ini bukanlah yang pertama kali. Tapi tidak sampai separah ini. Inilah sejarah yang kesekian kali yang telah mencabit-cabit hatiku di kelas ini dan aku heran ini hanya terjadi di kelas ini. Semua tenaga dan potensi telah kukerahkan agar diriku dapat membimbing mereka, mengajari mereka, mengenalkan mereka tentang ilmu hikmah agar mereka mengetahui kebaikan yang sejati. Aku tak berdaya dengan diriku yang lemah ini.
Sering kumenangis seorang diri di atas sajadah biru, memohon kepada Rabb-ku, agar siswa-siswiku diberikan petunjuk dengan HidayahNya. Agar mereka tak sibuk sendiri seperti yang kudapati hari ini, agar mereka mengerti keinginanku yang begitu besar. Namun semua itu, tak sejalan dengan harapan besar itu.
Allah, kusebut namaMu dalam bisikan jiwaku. Apa yang harus kulakukan? Engkau telah menyaksikan segala kekasaranku kepada siswa-siswiku. Bukan hanya hari ini, melainkan sepanjang hari ketika kutatap impian besar yang terukir di wajah-wajah mereka. Aku belum bisa bersabar dengan "kebodohan" mereka. Aku sangat kejam kepada mereka.
Kemarin, ketika bell yang sama berbunyi di kalas 2. Samar-samar kedua telingaku menangkap suara dari lisan siswi berjilbab putih.
“Asyiiik…waktunya habis tad” begitulah ucapnya.
Miris hatiku mendengar ucapan itu. Aku memang mengajar di pesantren ini 39 sks dalam satu minggu, aku sadar itu akan membosankan bagi mereka karena yang mereka lihat hanya wajahku. Ternyata hampir setiap guru mengeluh dengan wajah getir yang tak mampu terucap dalam lisan. Serasa siswa-siswiku berjoget ria, bahkan menari-nari di depan mata kesedihan, karena mereka senang berpisah dengan gurunya. Seakan, gurunya adalah srigala kejam, yang setiap saat mereka harapkan ketidak hadirannya.
Beginikah aku, yang begitu kejamnya, hingga kehadiranku tak pernah mereka impikan, terlebih mereka cita-citakan. Tidak apalah kalau mereka tak menginginkanku, "tolong kalian sabar nakku.., aku memang hanya sebentar di sini, setelah menunaikan tugas aku akan pergi mengabulkan pinta kalian." Mereka memoles senyum ketika ketua kelasnya mendapatkan khabar yang selalu dinanti, aku izin tak dapat mengajar karena ada undangan di luar. Dan siswa-siswiku bersorak-sorak melampiaskan kegembiraan mereka, aku hanya tersenyum miris, itu mungkin pantas karena aku merasa, akulah sang durjana. Guru terlaknat yang memuntahkan murka, ketika seorang siswa-siswi melakukan kesalahan.
Emosiku begitu tinggi, guncangan ambisi terkadang lebih mendorongku berbuat kasar. Siswiku, yang begitu indah wajahnya, begitu menawan kelopak matanya, yang begitu polos pengetahuannya, serta merta kuhukum dengan kata-kata yang mungkin baginya sangat kasar. Seketika butiran keringat membasahi wajahnya. Sesekali tangannya yang ramping mengusap dengan jilbab. Wajah itu masih melekat dalam memori penyesalan ini. Tapi waktu itu aku sangat puas melampiaskan hukumanku. Aku senang. Begitulah.
Seketika siswiku itu lemas tak berdaya dan tersungkur di bawah senyuman temannya. Lalu tiba-tiba aku cemas, aku khawatir akan sesuatu yang terjadi kepadanya. Bukankah aku yang telah menghukumnya, dan aku pula yang khawatir kepadanya. Khawatir siswiku itu akan sakit, hingga esok aku tak dapat memapas senyum di wajahnya. Aku tau dia pura-pura sakit, temannya bilang dia sakit hati karena kumarahi.
Allah, kusebut lagi NamaMu pagi ini. Di waktu yang sama. Inilah aku yang kasar. Inilah aku yang tak sabar menunaikan amanahMu. Hendak kukemanakah jasad ini, disaat hatiku penuh dengan noda dosa. Syetan telah berhasil menyusup dalam jiwaku, dan memompaku tuk memuntahkan amukan kepada siapa saja yang kudapati menyeleweng dari keinginanku.
Kusapa hangat wajah siswaku yang tadi kuperintahkan tuk push up. Kupegang pundaknya dengan tatapan cinta di mata ini. Kuusap keringat di keningnya dengan sehelai sapu tangan. Aku tak tega, menikmati pemandangan yang mungkin dapat merusak psikologinya. Aku tak kuasa bernyanyi ria dengan nafasnya yang tersendat-sendat. Aku tahu, siswaku itu telah menunaikan titahku, sekalipun itu hukuman yang sangat berat. Mungkin aku terlalu besar mengharapkannya menjadi yang ideal akan tetapi aku belum memberinya motivasi besar yang akan dapat mewujudkan harapanku, dan aku tau tak seorangpun dari mereka yang berani menolak murkaku. Karena siswaku itu tahu, aku sangat kasar. Dan sering kali, kekasaranku terlampiaskan kepada siswa-siswiku yang masih polos dan belum mengerti keinginanku.
Allah, lihatlah! Butiran kristal air mataku menetes membasahi pipiku. Aku takkan pernah menangis di depan siswa-siswiku. Kalau pun mereka tau aku yakin mereka cinta ilmu yang kuberi. Aku memang sering melihat cahaya di mata mereka. Melihat pancaran cinta yang terukir dari tatapan mata mereka.
Sungguh, aku tak mampu mendorong keberanian hatiku tuk mengatakan bahasa kasih sayang di hati ini. Meski jujur, sungguh, aku sangat menyayangi mereka. Andaikan mereka mampu kupeluk, aku kan memeluk mereka. Mendekap mereka dengan cinta seorang guru kepada muridnya. Mengecup kening mereka yang bening dengan kelembutan abadi. Dengan kelembutan CintaMu.
Kutundukkan pandangku, menyangga kepalaku di atas meja, kupangku kedua tanganku dan kudapati air mataku tertumpah menetes di atas meja itu. Serentak suara jasad menyusuri telingaku. Aku tak percaya, aku menangis di depan mereka. Diantara mereka ada yang menangis di depanku.
“Maafkan kami, tad.!” ucap salah seorang murid yang telah kuhukum beberapa menit lalu. Aku hanya membisu menata keadaan.
 “Kami telah membuat ustad menangis” ucapnya lagi bersama isak tangis yang membuat hatiku terenyuh mendengarnya.
“Air mata ini adalah dosa yang telah ustad perbuat kepada kalian, maafkan ustad ya nak…maafkan gurumu ini” kataku tanpa kubendung air mata yang masih mengalir deras.
“Kami yang nakal ini telah membuat luka di hati ustad. Hingga ustad sedih. Kami berjanji ustad. Kami berjanji takkan mengulangi kenakalan kami”.
“Tidak anakku, ustadlah yang kurang sabar dalam mendidikmu. Gurumu yang lemah ini belum mampu memahamkanmu tuk mengerti keinginan hati ustad. Sekali lagi, maafkan ustad…”.
“Air mata ini adalah dosa yang telah bapak perbuat kepada kalian, maafkan bapak ya nak…maafkan gurumu ini” kataku tanpa kubendung air mata yang masih mengalir deras.
Siswa laki-lakiku tiba-tiba mendekapku. Memelukku erat. Kubiarkan semua deraian air mata ini menyusuri pipiku. Hingga kurasakan dalam jiwaku kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan. Tiba-tiba kudengar bisikan salah seorang dari mereka "ustad ikhlash dengan ilmu yang antum beri, iya kan?" aku hanya mengangguk tak mampu menjawabnya lagi.
Siswa laki-lakiku tiba-tiba mendekapku. Memelukku erat. Kubiarkan semua deraian air mata ini menyusuri pipiku. Hingga kurasakan dalam jiwaku kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan. Tiba-tiba kudengar bisikan salah seorang dari mereka "ustad ikhlash dengan ilmu yang antum beri, iya kan?" aku hanya mengangguk tak mampu menjawabnya lagi.
#          #          #
Malam ini sangat indah melukiskan ketenangan yang memuncak pada ukiran sempurna, aku baru ingat ini malam ke 14 dari bulan hijriyah, pantas kulihat bulan membulat bak bola meluncur terhempas dari tendangan bengis pemainnya, malam ini perutku sedikit sakit makanya aku tak sempat mengontrol kegiatan anak-anak, kutatap mukaku di cermin yang sudah retak ujungnya, kuperhatikan wajah itu lumat-lumat, jiwaku berbisik seakan memanggil siapa yang ada dalam pantulan itu, aku tersenyum ringan membisikkan sebuah haluan lembut, "hei… kenapa mukamu pucat?" Bisikku. Terlalu banyak beban yang kau emban? itu belum seberapa, bukankah kewajiban itu lebih banyak dari pada waktu yang tersedia? Yuk bangkit jangan cengeng dengan rasa-rasa sakit yang hanya sedikit.! Aku tersenyum kecut mendengar bisikan hati kecilku. Ya Rabb.!! Kekuatanku berasal dariMu, perkokohlah mentalku.
Kubaringkan tubuhku di atas sebuah kasur yang sudah memudar warna aslinya, kupejamkan mata mencoba meraih ketenangan di sana, tak sadar mataku membasah dan tiba-tiba air itu menggelinding di celah pipiku dan jatuh di bantal tempatku memapahkan kepala, aku heran kenapa ini bisa terjadi?
Ditengah gundahku tiba-tiba hapeku berbunyi, ada sms masuk kulihat isi dalamnya ternyata pesan dari coordinator pengabdian aceh akh kamaludin isi pesannya lebih kurang "awladi al-ahibba' dengan taqdir Allah sekarang nanda berada di tempat yang belum terbayangkan sebelumnya, belajarlah berbuat untuk kemenangan islam, untuk sabar dalam menghadapi masyaqqatil haya, untuk bijak dalam menghadapi kerasnya watak manusia, selalu menghargai asatidzmu, jangan pragmatis, jangan materialistis, yakinlah bahwa maa 'indallahi baaq, manfaatkan khidmah ini untuk mengokohkan diri dengan iman dan amal nyata. Dari: BASYA" membaca sms ini semangatku pulih kembali, tujuanku tergambar lagi, aku tau pesan ini berasal dari sesosok yang kami cintai dan kami sangat segani. Pesan ini berasal dari ust. Bakrun Syafi'i. guru spiritual kami.
Diakhir petualanganku di pesantren ini, sangat tidak terasa perjalanan 1 tahun telah banyak merenggut batang usia dan waktuku, semoga bermanfaat bagi pesantren ini lebih-lebih bagi siswa-siswiku, dan semoga apa yang telah kulakukan dicatat disisiNya agar dapat menjadi timbangan berat pada yaumul hisab nanti. Sekali lagi aku meneteskan air mataku, sungguh aku tak tega meninggalkan anak-anakku yang telah kudidik dan telah memulai menemukan hakikat perjuangan, dan yang paling tidak tahan adalah perpisahan dengan ikhwah-ikhwah yang telah menjadi keluargaku di sini.
Malam setelah wisuda santri kelas akhir, kami diantar oleh pimpinan pesantren ke kota medan untuk membeli tiket pesawat. Lambayan tangan dan tangisan anak-anakku menyapa pergeseran jalannya mobil yang kami naiki. Tangisku pecah sedu sedan.
Perlahan pemandangan kutacane semakin jauh tertinggal  di belakang, semua kenangan itu kembali terngiang di benakku. Selamat tinggal anak-anakku, selamat tinggal kutacane, selamat tinggal ikhwah semua, semoga Allah mempertemukan kita kembali. Amin.

0 comments:

Posting Komentar