“Tidaklah
seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi
saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan
tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah
beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in
An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud
dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu
yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’i.
“…hingga
dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika
hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu
Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam
memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil
(kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia
menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti
dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam
hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya
terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya
adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka
dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara
ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain
itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya
sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang
mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh
jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut
bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah,
tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab,
saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq (الشقيق).
Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti
fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita
berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim
itu bersaudara.
Dalam
ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah
untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka bahwa laa ilaha
illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman
yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah.
Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun
mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang
memang merupakan penduduk Madinah. Saudaraku fillah, perhatikanlah
dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang
yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar
(mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji
kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan
di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka
mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum
Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji
orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai
orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum
Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan
kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian
menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada
siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun
yang Dia kehendaki.
Tapi,
ingatlah wahai saudaraku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh
tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah
saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.”
Saudaraku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang
terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke
masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di
shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat
kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.”
Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa
berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari
kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari
sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi
diri kita.
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian
tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman
sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang
jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam
diantara kalian.”
(HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslim-muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Ucapkanlah salam kepada saudaramu. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslim dan muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam
sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar
berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah
kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu
ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih
bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang
bersama diskusi tentang ilmu agama, atau diskusi tentang planning jangka
panjang, dll. Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis
ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan serta akan
menumbuhkan semangat emosional yang tinggi sehingga kecintaan sesama muslim
terus terjalin hingga akhir hayat. Kemudian sekali-kali ajaklah Saudara Kita
Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu.
Saling
Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu
saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada
shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa
‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya.
Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman
sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib
mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu
diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak
tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa
perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya
secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan
saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat
banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka,
diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling
mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan,
ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti
tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudaraku
fillah, berbaik sangkalah kepada saudara muslim-muslimah mu yang lain
bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau
mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan
kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya.
Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan
dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan
yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang
kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak
ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha
ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau
karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin
terkenal sendiri”. Manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan
kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka,
melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan
melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Semoga
Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran, ketahuilah! Orang-orang yang
saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat
beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling
mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam
naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Abu
Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga
bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz
bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk
orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang
yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang
yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah
berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya.”
Wallahu a’lam bishshowab.
Semoga Allah memberikan kita kekuatan agar dapat saling mencintai karenaNya.
0 comments:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.