Oleh: Ustadz Hepi Andi Bastoni
Untuk mempererat hubungan kekeluargaan, Umar bin Khaththab
berniat menikahi salah satu putri Abu Bakar ash-shiddiq, khalifah pendahulunya.
Saat itu, satu-satunya putri Abu Bakar yang belum menikah adalah Ummu Katsum.
Untuk itu, Khalifah Umar bin Khaththab segera menemui ummul
mukminin Aisyah. Ia mengutarakan keinginan baiknya. Namun sayang, ketika hal
itu disampaikan Aisyah kepada adiknya, Ummu Kultsum menolak. “Saya tidak
membutuhkannya” ujar Ummu Kultsum ketus.
“Apakah kamu tidak suka kepada amirul mukminin?” tanya
Aisyah.
“Ya, dia seorang yang keras hidupnya, keras terhadap
wanita.!” Nilai Ummu Kaltsum.
Di sinilah persoalan muncul; lamaran Amirul mikminin
ditolak. Ini masalah bagi Aisyah. Bagaimana ia menyampaikan penilakkan itu
kepada Umar. Ia khawatir akan merusak hubungan baik mereka yang sudah terjalin selama ini dengan almarhum
ayahnya Abu Bakar ash-shiddiq.
Dalam kondisi demikian, Aisyah langsung ingat sebuah nama;
Amr bin Ash. Tokoh Quraisy yang sangat ahli berdiplomasi, ungkapan masyarakat
mengatakan, “jika orang-orang bingung, maka mereka akan mendatangi Amr bin Ash”.
Aisyah langsung menemui Amr bin Ash agar mengambil alih
persoalan dengan kelembutan dan kecerdasannya. Amr bin Ash pun mendatangi Umar
bin Khaththab dan mengejutkannya dengan perkataan, “Ada berita datang kepadaku.
Aku berlindung kepada Allah dari berita itu!”
Umar berkata “Apakah gerangan?”
“Engkau meminang Ummu Kaltsum binti Abu Bakar”
Umar menjawab, “ ya, apa kau tidak suka dia menikah denganku
ataukah kau tidak suka aku menikah dngannya?”
Amr menjawab, “bukan satu dari itu, tapi ia masih muda,
tumbuh di bawah bimbingan Amirul Mukminin Abu Bakar dalam kelenturan dan
kelembutan, sementara engkau memiliki sifat keras. Kami saja segan kepadamu dan
kami tidak mampu menolakmu tentang salah satu sifat dari akhlakmu. Lalu bagaimana
ia jika menyalahimu pada suatu perilaku dan engkau berlaku keras kepadanya? Engkau
mendapatkan putri Abu Bakar dengan sesuatu yang bukan hak bagimu!”
Umar menyadari apa yang ada di balik mediasi ini. Dia memahami
bahwa Amr bin Ash tidak datang begitu saja atas inisiatifnya sendiri. Umar bertanya
kepadanya seakan ingin mengetahui apa yang ada di balik misinya ini, “tapi saya
sudah berbicara dengan Aisyah?”
Seorang ahli diplomasi, tidaklah menutup celah suatu masalah
tanpa membuka celah lainnya sebagai solusinya. “saya di pihakmu untuk hal ini. Saya
akan tunjukkan yang bisa jadi lebih baik bagi anda.”
“Apa maksudmu,” tanya Umar.
“engkau lamar Ummu Kultsum yang lain. Ummu Kultsum binti Ali
bin Abi Thalib. Dengan demikian, engkau telah menyambung nasab Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dengannya” papar Amr bin Ash. Dia benar, sebab ummu Kultsum
binti Ali bin Abi Thalib masih terbilang anak Fathimah binti Rasulillah shallallahu
alaihi wasallam.
Umar pun setuju. Bergegas ia mendatangi Ali bin Abi Thalib
untuk melamar putrinya. Ali pun setuju. Pernikahan pun berlangsung.
Kisah yang diabadi juga oleh Abbas Al-Aqqad dalam karyanya Abqariyatu
Amr bin Ash ini jarang sekali diungkap. Kisah ini sekaligus menampikkan
pendapat kalangan syiah bahwa ada konflik antara Ali dan Umar. Begitu bencinya
kalangan syiah kepada Umar bin Khaththab sampai-sampai kuburan pembunuh Umar;
Abu Lu’lu’, hari ini dijadikan tempat keramat yang sangat dihormati.
Padahal, sungguh tak ada konflik antara dua tokoh utama ini.
Umar adalah mantu Ali dan Ali pun adalah mertua bagi Umar. Keduanya bersahabat
dan makin erat hubungan kekerabatannya setelah Umar menikahi Ummu Kultsum.
Begitulah para Shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam menyambung
tali kekerabatan dengan menikah.
Ini memang bukan zaman Siti Nurbaya dimana seorang anak
harus dipaksa menikah dengan orang yang tidak disukainya, namun banyak para
orang tua yang gara-gara kalimat “ini bukan zaman siti nurbaya” merasa tertekan
oleh anak-anaknya. Akhirnya mereka menyerahkan dan mempersilahkan sang anak
menikah dengan pujaanya.
Memaksa anak sehingga tidak mempunyai hak suara juga tidak
dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun spirit
menyambung kekeluargaan seperti yang diisyaratkan Umar, itu harus dijadikan
pijakan. Kita lihat empat shahabat utama Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
terakum dalam julukan khulafaur rasyidun. Siapakah mereka?
Abu Bakar dan Umar adalah mertua sang Nabi, sebab Aisyah
Binti Abu Bakar dan Hafshoh binti Umar adalah Istri sang Nabi. Sedangkan Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah menantu Nabi shallallahu alaihi
wasallam sebab Utsman menikah dengan dua putri Rasulullah secara
bergantian; Ruqayyah dan Ummu Kultsum, adapun Ali bin Abi Thalib menikah dengan
putri beliau; Fathimah.
Jadi ikatan Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan
keempat Khalifah sepeninggal beliau tak hanya ikatan Nabi dan Ummatnya, guru
dan muridnya. Tetapi sampai pada ikatan menantu dan mertua, mertua dan menantu.
Hal seperti ini tak hanya berhenti pada kisah
keluarga-keluarga mulia tersebut. Nabi juga ikut menentukan perjodohan yang
terjadi di beberapa shahabatnya. Bacalah kembali proses perjodohan Bilal
muadzin Nabi yang berkulit hitam dan mantan budak itu dengan halah binti Auf,
saudari Abdurrahman bin Auf saudagar kaya dari suku Quraisy. Nabi yang
berkali-kali mengatakan kepada keluarga Abdurrahman bin Auf: “kemanakah kalian
dengan Bilal?” bagaimana kalian dengan calon penghuni surga itu? Dan, Perjodohan
pun terjadi.
Nikmati juga proses pernikahan fathimah binti Qais, wanita
Quraisy yang terhormat itu, saat dilamar oleh Muawiyah dan Jahm, Nabi shallallahu
alaihi wasallam mengatakan keduanya tidak ada yang cocok untuk Fathimah
binti Qais. Nabi pun memberi saran: menikahlah dengan Usamah bin Zaid bin
Haritsah, anak mantan budak Nabi shallallahu alaihi wasallam. dan
perjodohan pun terjadi.
Renungi juga tawaran Nabi shallallahu alaihi wasallam
yang meminta gadis dari keluarga Anshar agar bersedia dinikahkan dengan
julaibib, lelaki miskin dan jauh dari kata tampan. Perjodohan itu pun terjadi.
Urusan menjodohkan juga diteladani oleh para shahabat Nabi. Saat
melihat putrinya Hafshah menjanda karena suaminya meninggal, Umar mendatangi
Abu Bakar untuk menawarkan putrinya agar dinikahi oleh Abu Bakar, tapi Abu
Bakar hanya diam saja. Kemudian ditawarkan kepada Utsman, tetapi Utsman
menolak. Hingga Umar mengadu kepada Rasulullah dan kemudian dinikahi oleh
Rasulullah.
Contoh seperti ini bertebaran sangat banyak dalam sejarah
orang-orang terbaik itu. Teladan paling nyata dari sikap mereka itu adalah
mereka saing menikahkan anak-anaknya dengan orang atau keluarga yang sudah
sangat dikenalnya bahkan telah dekat karena ikatan kebersamaan satu majlis
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ikatan persahabat imani antar
mereka.
Ini bisa jadi renungan para orangtua hari ini yang sedang
galau mencari mantu. Ini bisa jadi solusi sekaligus mengembalikan fungsi
orangtua dalam memilihkan jodoh anaknya. Mengapa harus jauh-jauh menanti jodoh
sang anak jika orang-orang baik –paling tidak kita kenal baik- selama ini sudah
ada di depan kita.
Cobalah tengok kanan kiri anda. Ada banyak teman kita yang
duduk satu halaqah, kita tahu shalatnya, ibadahnya, begitu juga anaknya. Sudah lama
kita mengenal kebaikannya, ilmunya dan semangatnya membentuk keluarga Islami. Persis
seperti Umar. Ia tahu persis siapa itu keluarga Abu Bakar As-shiddiq.
Kalau ternyata ada pasangan keluarga, ternyata ia punya anak
laki-laki dan dia punya anak perempuan, ajak dia bicara serius. Bertamulah ke
rumahnya di waktu yang tepat. Lalu bisikkan ke telinganya, kita besanan, yuk.!.
0 comments:
Posting Komentar