Kita adalah satu umat yang dipersatukan oleh ikatan yang tak terlihat, namun amat kuat yaitu Islam. Kita semua menghadap kiblat yang sama, melafazkan kalimat yang sama, dan mengimani satu Tuhan yang Esa, dengan kalimat tauhid: Laa ilaaha illallah. Dalam pandangan Islam, tidak ada keunggulan antara orang Arab dan non-Arab (Ajam). Yang membedakan derajat manusia di sisi Allah hanyalah ketakwaan, bukan ras, suku, atau kebangsaan.
Sejarah Islam penuh dengan teladan bahwa kehebatan dan kemuliaan tidak
terbatas pada satu bangsa. Shalahuddin Al-Ayyubi, sang penakluk Baitul Maqdis
(Yerusalem), bukan dari suku Arab, melainkan berasal dari bangsa Kurdi yang
kini wilayahnya terbentang di Irak utara, Suriah utara, Turki tenggara, dan Iran
barat. Hanya Umar bin Khattab
yang berhasil membebaskan Yerusalem yang berasal dari bangsa Arab. Maka, tidak
mengherankan jika harapan umat kini banyak tertuju pada sosok dari negeri jauh,
non-Arab, untuk kembali membebaskan Al-Aqsa.
Begitu pula dengan Thariq bin Ziyad, penakluk Andalusia, yang berasal dari
bangsa Berber Afrika Utara, sebuah bangsa non-Arab. Muhammad Al-Fatih, pemuda penakluk Konstantinopel,
adalah keturunan Turki. Saifuddin Quthuz, yang menghentikan gelombang serangan
pasukan Tatar, merupakan seorang Mamluk, berasal dari kawasan Asia Tengah.
Barakah Khan (Berke Khan), pemimpin Mongol pertama yang masuk Islam dan menolak
aliansi dengan Hulagu Khan, adalah keturunan bangsa Mongol.
Mereka semua datang dari latar belakang etnis, bahasa, dan budaya yang
berbeda, namun dipersatukan oleh satu identitas: keimanan kepada Allah dan
kecintaan kepada agama Islam. Mereka adalah pahlawan sejati—"The Real
Superheroes"—bukan karena darah bangsawan atau keturunan ningrat,
melainkan karena pengabdian total mereka kepada Islam.
Tak hanya para pahlawan, tetapi juga para ulama besar yang meletakkan
fondasi keilmuan Islam berasal dari luar Jazirah Arab. Imam Bukhari
(Uzbekistan), Imam Muslim (Iran), Ibnu Majah (Iran barat laut), Abu Dawud
(wilayah Iran-Afghanistan), Imam Tirmidzi (Uzbekistan selatan), dan Imam Nasa’i
(Turkmenistan), mereka semua berasal dari negeri-negeri non-Arab. Namun
karya-karya mereka, termasuk Kutubus Sittah (enam kitab hadis utama), menjadi
rujukan utama umat Islam sedunia setelah Al-Qur’an.
Mereka tidak hanya menyumbangkan ilmu, tapi juga membuktikan bahwa Islam
adalah peradaban yang universal, bukan milik satu etnis atau bangsa.
Islam memang lahir di tanah Arab, namun sama sekali tidak eksklusif untuk
bangsa Arab. Allah tidak mengistimewakan suatu kaum kecuali dengan takwa.
Lihatlah: Abu Lahab, paman Nabi yang berasal dari Bani Hasyim, suku mulia
Quraisy, dijanjikan neraka. Sementara Bilal bin Rabah, budak dari Habasyah
(Ethiopia), dijamin surga. Abu Jahal, tokoh Quraisy, juga bernasib sama.
Sedangkan Salman Al-Farisi dari Persia dan Shuhaib Ar-Rumi yang berasal dari
Romawi, termasuk ahli surga.
Orang-orang yang dianggap tinggi oleh masyarakat karena nasab dan harta,
ternyata banyak yang binasa karena kesombongan. Sebaliknya, mereka yang dulu
tertindas dan dipandang rendah, justru ditinggikan oleh Allah karena keikhlasan
dan ketakwaan mereka.
Kita dimuliakan karena Islam, dan sebaliknya, akan dihinakan jika
meninggalkannya. Kejayaan dalam ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, dan kekuatan
militer, semuanya bersumber dari satu identitas kebanggaan yang sejati: Islam.
Label apapun yang melekat pada tubuh kita—status sosial, suku, warna kulit,
kebangsaan—semuanya akan tak bermakna jika kita terjebak dalam fanatisme
jahiliyah yang mengutamakan identitas lahiriah di atas iman.
Umat Islam hanya akan kembali mulia jika mereka menjadikan Islam sebagai
identitas utama mereka. Ketika cinta terhadap agama dan Nabi Muhammad SAW
mengalahkan batas-batas negara, etnis, dan golongan, maka di situlah izzah
(kemuliaan) umat akan kembali terangkat.
Sebaliknya, mereka yang hanya membanggakan tahta, harta, dan warisan nenek
moyang, tanpa menjadikan Islam sebagai pegangan hidup, hanyalah terperangkap
dalam ilusi kejayaan semu yang akan runtuh saat realitas menuntut makna sejati
dari hidup ini. Lalu
ia akan terpenjara dalam halusinasi semboyan-semboyan kosong yang tak bermakna.
Sumber: Facebook Yuuf Al-Amien

0 comments:
Posting Komentar