Apakah jika kekasihmu menjemput takdir Tuhan, kembali
padaNya kau akan menangis sedu sedan dan meratap tak karuan? Atau kau akan
menangis sekedar dan mencoba bersabar? Atau kau berharap agar Tuhan juga
mengambilmu?
Adalah Aku, seorang pemuda yang Allah pilih untuk menjadi
seorang single parent di saat umurku belumlah sampai kepala tiga. Memang susah
untuk menjalaninya, apalagi di saat anak masih membutuhkan kasih sayang dan
perhatian lebih dari kedua orangtuanya, terutama seorang ibu.
Terkadang aku lupa bahwa di luar sana masih ada orang lain
yang bernasib sama denganku atau bahkan lebih memprihatinkan.
Saat membersamai sang istri, aku selalu menanamkan kalimat
Jihad dalam setiap aktifitas kami, agar ia menghujam kokoh di dalam sanubari.
Lebih-lebih Saat istriku melahirkan anak kami yang pertama serta perjuangannya
merasakan sakit yang sangat ketika melahirkan anak kami yang kedua dengan cara
premature yang sebelumnya selama dua malam berturut-turut kami harus mampir ke
rumah sakit satu ke rumah sakit yang lainnya untuk mendapatkan pertolongan,
tapi yang kami dapat adalah penolakan dengan berbagai macam alasan. Mulai dari
ruangan penuh, tidak ada peralatan yang memadai sampai ke masalah pembiayaan
yang harus dipersiapkan dengan jumlah yang sangat besar.
Itulah saat-saat yang sulit bagi kami, dan yang paling saya
perihatin dengan beliau bahkan sangat membekas dalam ingatan ketika beliau
berjuang melawan rasa sakit yang di deritanya menjelang ajal menjemputnya.
Saat itulah istriku bertanya tegas, seakan ingin
meyakinkannya tentang komitmen kami untuk selalu bersama, bahkan tentang
kematian yang selalu kami idamkan. Syahid.
“apakah abi akan syahid bersamaku?” tanyanya lirih.
saat itu, air mataku sudah tak terbendung, sementara jari jemari kami semakin erat saling menggenggam.
saat itu, air mataku sudah tak terbendung, sementara jari jemari kami semakin erat saling menggenggam.
“iya sayang, in syaaAllah” jawabku saraya mengangguk. Jawaban
yang sangat berani. Jawaban yang entah terasa bergemuruh. Bagaimana tidak saat
kematian itu adalah urusan Allah sang penggenggam hidup dan mati makhlukNya,
aku mengangguk begitu tegas.
Dan akhirnya itulah yang terjadi, hingga saat ini aku masih
hidup. Saat syahid telah menjadi pilihan, tapi cara untuk meraih syahid itu
tidaklah gampang. Sekelas Khalid bin Walid saja yang setiap saat berperang di
jalan Allah tak juga Allah takdirkan syahid di sana, Allah justru
mentakdirkannya syahid di atas kasurnya sendiri.
Berharap Syahid datang menyampaikan salam dari Allah
kemudian menjemputku membawa kehadiratNya saat terjadi penuntutan untuk
menghukum sang penista Agama pada 411, ternyata belum.
Berharap lagi saat aksi 212, aroma surga berusaha kucium,
ribuan bulir dari rintikan hujan kunikmati, berharap dingin dari terpaan hujan
dan terjangan angin menjembatani kedatangan sang syahid. Ternyata belum juga.
Bahkan sepulang dari sana kami masih bisa tertawa dan mampir di warung makan
menikmati seonggah nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Aduhai, Jalan menuju syahid itu sangat banyak kawan. aku
mungkin lupa, Allah justru sedang mempersiapkan untuk menjemput syahid dengan
media yang lain, bukankah mendidik anak itu adalah jihad? Bukankah yang selama
ini dilakukan tentang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an adalah jihad fi
sabiilillah?
Subhaanalllah.
Saat syahid sudah menjadi pilihan hidup, maka tak kan
terpatrikan lagi bahwa semua aktifitas adalah jalan untuk menggapainya.
Allahumma amitnaa alasy syahaadati fii sabilik.
Ya Allah, matikanlah kami dalam syahid di jalanMu.
Yaa Robb, perkenankanlah hambaMu ini merengkuh nikmatnya
syahid di jalanmu, hari ini, besok atau kapan pun Engkau berkehendak.
Aamiin.
0 comments:
Posting Komentar