Kamis, 21 Februari 2019

Hukum Kencing Sambil Berdiri, Boleh Tidak?. Ini Penjelasannya.


Assalamu'alaikum wr.wb. Ustadz.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam buang air kecil dengan cara berjongkok dan akan kita dapatkan pahala sunnah jika kita mengikuti beliau.
Yg menjadi pertanyaan saya adalah kenapa di hampir semua masjid yg saya temui memiliki urinoir berdiri? Apakah itu adalah ijtima ulama?
Kalau diperhatikan bahwa urinoir sekarang rata rata telah dilengkapi dengan acrilic penahan percikan air seni. terkadang dengan cara kencing jongkok malah lebih berpotensi terpercik najis, karena sifat buang air kecil laki laki yg memancar. Apakah sunah yg spt ini boleh tidak dikerjakan?

Jazakallah khairan katsir atas pencerahannya Ustadz

Jawaban:

Wa'alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Tentang kencing dengan cara duduk (jongkok) tidak ada perselisihan ulama tentang kesunnahannya. Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

لا خلاف بين الفقهاء في أنه يستحب الجلوس أثناء التبول لئلا يترشش عليه

  Tidak ada perselisihan pendapat para ahli fiqih bahwa disukai (sunah) duduk (jongkok) ketika kencing agar tidak kena cipratannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/274)

📌 Lalu bagaimana jika berdiri ?

Sebenarnya tidak ada larangan yang kuat untuk kencing sambil berdiri. Hadits-hadits yang menyebutkan larangan kencing sambil berdiri (buat kaum laki-laki) telah dibincangkan validitasnya.

 Biasanya alasan pelarangannya adalah:

1⃣ Pertama.  hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, yang berbunyi:
لاَ تَبُلْ قَائِمًا
Janganlah kamu kencing sambil berdiri. (HR. Ibnu Hibban No. 1423)

Hadits  ini dhaif (lemah) seperti yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Ibid)

2⃣ Hadits kedua, adalah  riwayat dari ayahnya, yaitu Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

رآني رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا أبول قائما . فقال ( يا عمر لا تبل قائما ) فما بلت قائما بعد
 
  Rasulullah ﷺ melihat aku kencing sambil berdiri, lalu berkata: “Wahai Umar! Janganlah kamu kencing sambil berdiri.” Maka setelah itu aku tidak lagi kencing berdiri. (HR. Ibnu Majah No. 308, Al Baihaqi, Al Kubra No. 505, Al Hakim, Al Mustadrak No. 661, katanya: shahih. Abu ‘Uwanah No. 5898)

  Para ulama ada yang menshahihkan, seperti Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, dan Imam As Suyuthi. Tapi, penshahihan mereka telah dikoreksi para imam setelahnya, sebab dalam sanad hadits ini terdapat Ibnu Juraij seseorang yang dikenal sebagai mudallis (orang yang suka menggelapkan sanad dan matan hadits), juga Abdul Karim bin Abdil Mukhariq.

Kata Imam Al Baihaqi (murid dari Imam Al Hakim), dalam sanadnya terdapat Abdul Karim bin Abdil Mukhariq, dia seorang yang dhaif. (As Sunan Al Kubra No. 505)

  Imam At Tirmidzi juga berkata: “Abdul Karim adalah seorang yang dhaif menurut para ahli hadits. Ayyub As Sukhtiyani mendhaifkannya, dan pada orang ini ada perbincangan.” (Sunan At Tirmidzi No. No. 12)

  Imam Muhammad bin Thahir Al Maqdisi juga mengatakan bahwa Abdul Karim ini dhaif. (Dzakhiratul Huffazh, No. 2946)

  Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan bahwa isnad hadits ini dhaif (lemah). (Takhrijul Ihya, 1/253. Lihat juga kitab Beliau yang lain, Al Mughni ‘An Hamlil Asfaar, No. 288)

  Imam Ibnul Mundzir mengatakan: haadza laa yatsbut (hadits ini tidak shahih). (Al Awsath fis Sunan wal Ijtima’ wal Ikhtilaf No. 284)

  Lalu, bukankah hadits ini ada dalam kitab SHAHIH IBNI HIBBAN? Berarti menurut Imam Ibnu Hibban ini shahih. Hal itu dikomentari oleh Imam Ahmad bin Abi Bakar Al Kinani, dia mengatakan:

 “Sanadnya dhaif, dan Abdul Karim disepakati kedhaifannya. Dia pun sendirian dalam meriwayatkan hadits ini. Hadits ini juga bertentangan dengan yang lebih shahih dari Abdullah bin Umar Al ‘Umari (Bukan Ibnu Umar anaknya Umar, pen), dia seorang yang disepakati sebagai orang yang tsiqah (bisa dipercaya), maka jangan terpedaya dengan penshahihan Ibnu Hibban. (Mishbah Az Zujaajah, 1/45)

  Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Imam As Suyuthi. (Sa

ilul Jarar, 1/44). Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengomentari:

فربما نظر السيوطي إلى رواية ابن حبان ، وأهمل تدليس ابن جريج ، والسيوطي متساهل كما هو معلوم

Barangkali pendapat As Suyuthi mengikuti riwayatnya Ibnu Hibban, dan dia mengabaikan tadlis-nya Ibnu Juraij, dan As Suyuthi termasuk ulama yang mutasahil (menggampangkan/longgar) sebagaimana telah diketahui. (Al Fatawa Al Haditsiyah LilHuwaini, 1/174)

Sedangkan Syaikh Al Albani tegas mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 6403)

Seandainya hadits ini shahih pun, tidak bermakna larangan haram, tetapi larangan adab belaka. Imam Al Baghawi mengatakan:

فقال : " يا عمر لا تبل قائما " وليس هذا تحريما ، بل هو نهي تأديب.

(Maka Beliau bersabda: “Wahai Umar, janganlah kamu kencing berdiri.” Ini bukanlah pengharaman, tetapi larangan untuk mendidik adab saja. (Syarhus Sunnah, 1/387)

3⃣ Ketiga, yaitu hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu yang berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا

  Rasulullah ﷺ melarang seseorang kencing sambil berdiri. (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 508)
  Imam Al Bushiri mengatakan sanadnya dhaif. (Az Zawaid, 1/93). Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 6006)

📌Pengingkaran ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha

  Kemudian, alasan lain  pelarangan kencing berdiri adalah sikap ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang meminta agar tidak percaya kepada yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah kencing sambil berdiri.

  ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا

  Barang siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah ﷺ kencing sambil berdiri maka janganlah kalian mempercayainya, tidaklah Beliau kencing kecuali dengan duduk. (HR. An Nasa’i No. 29, At Tirmidzi No. 12)

   Di antara hadits-hadits tentang  tema ini, inilah yang paling shahih dari yang ada. Imam At Tirmidzi menjelaskan:

حديث عائشة أحسن شيء في الباب و أصح

  Hadits ‘Aisyah ini adalah hadits yang paling baik dan paling shahih dalam bab (pembahasan) ini. (Sunan At Tirmdzi No. 12)

  Apa maksud "hadits paling baik dan paling shahih"? Apakah shahih? Sebagian ulama menerangkan bukan begitu maknanya. Ucapan Imam At Tirmidzi tersebut bukan berarti hadits ini shahih, tapi maksudnya di antara semua yang lemah, sanad hadits inilah yang paling baik.

  Imam As Suyuthi mengatakan:

وقال الشيخ ولي الدين هذا الحديث فيه لين لأن فيه شريكا القاضي وهو متكلم فيه بسوء الحفظ وقول الترمذي أنه أصح شيء في هذا الباب لا يدل على صحته ولذلك قال بن القطان أنه لا يقال فيه صحيح وتساهل الحاكم في التصحيح معروف وكيف يكون على شرط الشيخين مع أن البخاري لم يخرج لشريك بالكلية ومسلم خرج له استشهادا لا احتجاجا

  Syaikh Waliyuddin mengatakan bahwa hadits ini terdapat kelemahan, sebab dalam sanadnya terdapat  Syarik Al Qadhi, dia dibincangkan karena jelek hapalannya. Ucapan At Tirmidzi bahwa ini adalah yang paling shahih dalam bab ini, tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Oleh karena itu, Ibnul Qaththan mengatakan bahwa tidaklah dikatakan bahw ahadits ini shahih. Al Hakim begitu mudah dalam menshahihkan sebagaimana telah diketahui. Bagaimana bisa ini sesuai syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim) padahal Al Bukhari tidak pernah meriwayatkan hadits dari Syarik secara umum, sedangkan Muslim hanya meriwayatkan darinya sebagai penguat saja bukan sebagai hujjah. (Syarh As Suyuthi Lisunan An Nasa’i, 1/26)

  Sementara ulama lain mengatakan, bahwa hadits ini valid. Imam An Nawawi mengatakan bahwa sanadnya jayyid (baik). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166). Imam Badruddin Al ‘Aini juga mengatakan: jayyid. (Syarh Abi Daud, 1/93)

  Syaikh Al Albani tadinya mendhaifkan dalam Misykah Al Mashabih (No. 365), lalu dia menshahihkan dalam Ash Shahihah No. 201, Shahih Ibni Majah No. 249, Shahih Sunan At Tirmdzi No. 11.

  Taruhlah hadits ini shahih, tapi apakah bermakna terlarang kencing berdiri? Hadits ini hanya menceritakan kesaksian ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dari apa yang diketahuinya tentang nabi di rumah, tetapi ketika di luar rumah tentu belum tentu di

ketahuinya. Jadi, bukan bermakna terlarangnya hal itu. Inilah pendapat yang lebih kuat, bahwa kencing berdiri tidak terlarang bahkan itu juga pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam riwayat lain, dan juga para sahabatnya.

  Imam Ibnu Hajar berkata:

والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه

  Jawaban tentang hadits ‘Aisyah adalah bahwa hal itu dikaitkan dengan pengetahuan dia, maka maksudnya adalah itulah yang terjadi di rumah-rumah. Ada pun di selain rumah maka dia tidak mengetahuinya. (Fathul Bari, 1/330)

  Jadi, perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas tidak berarti larangan kencing berdiri. ‘Aisyah hanya menceritakan apa yang dia diketahui tentang cara kencing nabi di rumah, yaitu duduk.

  Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengatakan:

فيه دليل على أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ما كان يبول قائما بل كان هديه في البول القعود
ولكن قول عائشة هذا لا ينفي إثبات من أثبت وقوع البول منه حال القيام

Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah kencing sambil berdiri justru petunjuk Beliau dalam masalah kencing adalah duduk, tetapi perkataan ‘Aisyah ini tidaklah mengingkari  penetapan pihak yang memastikan bahwa darinya juga  pernah kencing dalam keadaan berdiri. (Tuhfah Al Ahwadzi, 1/55)

📌Rasulullah ﷺ  tidak melarang dan para sahabat justru melakukan

Imam Ibnu Hajar berkata:

وقد ثبت عن عمر وعلي وزيد بن ثابت وغيرهم أنهم بالوا قياما وهو دال على الجواز من غير كراهة إذا أمن الرشاش  والله أعلم ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم في النهي عنه شيء

  Telah shahih dari Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, dan selain mereka, bahwa mereka kencing sambil berdiri. Ini merupakan dalil bolehnya hal itu dan tidak makruh jika aman dari percikannya. Wallahu A’lam. Dan, tidak ada yang shahih dari Nabi ﷺ tentang larangan hal itu sedikit pun. (Fathul Bari, 1/330, Lihat juga ‘Aunul Ma’bud, 1/29, Lihat juga Faidhul Qadir, 6/451)

  Keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar ini, bahwa tidak ada satu pun yang shahih tentang larangan kencing berdiri dari Nabi ﷺ, sudah menjadi dalil kebolehannya, sebab ketiadaan dalil larangan merupakan dalil bagi kebolehan.

  Imam Ibnul Mundzir mengatakan, sebagaimana dikutip Imam An Nawawi:

فثبت عن عمر بن الخطاب وزيد بن ثابت وابن عمر وسهل بن سعد أنهم بالوا قياماً، وروي ذلك عن أنس وعليّ وأبي هريرة، وفعل ذلك ابن سيرين وعروة بن الزبير، وكرهه ابن مسعود والشعبي وإبراهيم بن سعد، وكان إبراهيم لا يجيز شهادة من بال قائماً

  Telah shahih dari Umar bin Al Khathab, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Sahl bin Sa’ad, bahwa mereka kencing berdiri, hal itu juga diriwayatkan dari Anas, Ali, Abu Hurairah, itu juga dilakukan oleh Ibnu Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir, sementara itu dimakruhkan oleh Ibnu Mas’ud, Asy Sya’biy, Ibrahim bin Sa’ad, dan Ibrahim tidak membolehkan kesaksian orang yang kencing berdiri.  (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166, Lihat juga Syarh Abi Daud, 1/93)

📌Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ juga pernah kencing berdiri

  Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

أَتَى النَّبِيُّ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ

  Nabi mendatangi tempat pembuangan sampah milik sebuah kaum, lalu Beliau kencing berdiri. Kemudian dia meminta air, maka aku membawakannya air lalu dia berwudhu. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

  Hadits ini jelas keshahihannya bahwa Nabi ﷺ pernah kencing berdiri. Keadaan inilah yang tidak diketahui oleh istrinya, Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Namun, ada yang mengartikan bahwa saat itu Nabi ﷺ sedang sakit.

  Imam An Nawawi menjelaskan:

وأما سبب بوله صلى الله عليه و سلم قائما فذكر العلماء فيه أوجها حكاها الخطابي والبيهقي وغيرهما من الأئمة أحدها قالا وهو مروي عن الشافعي أن العرب كانت تستشفي لوجع الصلب بالبول قائما

   Ada pun sebab Nabi ﷺ kencingnya berdiri, para ulama menyebutkan dalam hal ini ada beberapa penjelasan seperti yang dikisahkan oleh Al Khathabi, Al Baihaqi, dan para imam lainnya. Salah satunya, mereka berdua mengatakan bahwa diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i bahwa orang Arab jika sedang mengobati tulang sulbinya adalah dengan kencing sambil berdiri. (Al Minhaj, 3/165)

Riwayat lai

n, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

إنما بال رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما لجرح كان فى مأبضه

  Rasulullah ﷺ kencing berdiri hanyalah ketika sakit di dengkul bagian dalamnya. (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)

  Hadits ini dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar;

ولو صح هذا الحديث لكان فيه غنى عن جميع ما تقدم لكن ضعفه الدارقطني والبيهقي والاظهر أنه فعل ذلك لبيان الجواز وكان أكثر أحواله البول عن قعود والله أعلم

   Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya terdapat kecukupan dari semua pembahasan yang lalu, tetapi Ad Daruquthni dan Al Baihaqi mendhaifkannya. Yang benar adalah bahwa perbuatan ini (kencing dambil berdiri, pen) adalah boleh dan kebanyakan keadaan Beliau (nabi) adalah kencingnya sambil duduk. Wallahu A’lam (Fathul Bari, 1/330)

  Sementara Imam Ibnul Mundzir mengatakan kencing berdiri dan duduk, keduanya shahih dilakukan oleh Nabi ﷺ, Beliau berkata:

البول جالسا أحب إلى وقائما مباح وكل ذلك ثابت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم

  Kencing sambil duduk lebih aku sukai  dan sambil berdiri boleh, semua ini shahih dari Rasulullah ﷺ. (Dikutip oleh Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166)

  Imam Asy Syaukani mengatakan:

( والحاصل ) أنه قد ثبت عنه البول قائما وقاعدا والكل سنة

  Wal hasil, bahwa telah shahih dari nabi kencing berdiri dan duduk, dan masing-masing adalah sunnah. (Nailul Authar, 1/107)

  Bahkan ada yang mengatakan bahwa kencing berdiri justru lebih aman dari najis, seperti perkataan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, yang dikutip Imam Ibnul Mundzir berikut:

وَذَلِكَ أَنَّ الْبَوْلَ قَائِمًا أَحْصَنُ لِلدُّبُرِ وَأَسْلَمُ لِلْحَدَثِ . وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ عَنْ عُمَرَ

  Dan hal itu, sesungguhnya kencing berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari hadats. Ucapan ini diriwayatkan dari Umar. (Al Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf No. 252)

📌Sebagian Ulama Ada Yang Memakruhkan

  Telah nampak bahwa hujjah kebolehannya begitu kuat, tetapi dalam wacana ilmu kita mesti mengakui adanya ulama Islam yang memakruhkan.

  Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وقد روى في النهى عن البول قائما أحاديث لا تثبت ولكن حديث عائشة هذا ثابت فلهذا قال العلماء يكره البول قائما الا لعذر وهى كراهة تنزيه لا تحريم

  Telah diriwayatkan hadits-hadits tentang larangan kencing sambil berdiri tapi tidak shahih. Namun, hadits ‘Aisyah adalah shahih, oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dimakruhkan kencing sambil berdiri kecuali jika ada ‘udzur, yaitu makruh tanzih, bukan makruh tahrim (makruh mendekati haram). (Al Minhaj, 3/166)

  Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa  yang memakruhkan di antaranya  dari Ibnu Mas’ud, Asy Sya’bi, dan Ibrahim bin Sa’ad. (Ibid)

  Sementara Imam Malik berpendapat, jika kencingnya di tempat yang memungkinkan kena  cipratan najisnya maka kencing berdiri adalah makruh. Tapi, jika tempatnya tidak seperti itu, tidak apa-apa berdiri. (Ibid)

📚Kesimpulan:

-  Kencing sambil berdiri dan duduk (jongkok) shahih dari Nabi ﷺ, sehingga keduanya adalah sunah nabi ﷺ

-  Mayoritas ulama membolehkan berdiri dan telah dilakukan sejak masa sahabat nabi dan setelahnya, sebagian lain ada yang memakruhkan

-  Baik pihak yang membolehkan dan memakruhkan sama-sama melarang jika berdiri memungkinkan kena cipratan najisnya

-  Terkena cipratan najis bisa juga terjadi saat kencing jongkok, oleh karena itu substansi masalah ini adalah MANA YANG PALING AMAN untuk terhindar dari cipratan najisnya, itulah yang kita pilih, dan sesuaikan juga dengan tempatnya

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌴🌾🌸🌺☘🌷

✏ Farid Nu'man Hasan
🌏 Join telegram: bit.ly/1Tu7OaC

Selasa, 19 Februari 2019

Hukum Wanita Bernyanyi Di Depan Umum dan Didengar Laki-Laki Bukan Mahram



Assalamualaikum...
Ustadz mohon penjelasan tentang mengadakan sebuah event yg mana talentnya/pengisi acaranya seorang penyanyi perempuan yg pasti menyanyikan lagu yg suaranya diperdengarkan untuk umum?.
Seperti event pengumpulan dana untuk kemanusiaan, dll.
Hukumnya apa?
Kalau boleh, landasannya apa?
Syukron.

============

 _Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah .._

Saya lebih menyetujui laki-laki dibanding perempuan, sebab bagaimanapun juga wanita bernyanyi itu kontroversi. Walau pendapat yg membolehkan juga ada,  itu pun dgn syarat yaitu aman dari fitnah.
Rinciannya seperti berikut:

_Bismillahirrahmanirrahim alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:_

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat; melarang secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat aman dari fitnah.

📗 *Pihak yang melarang.* Memiliki sejumlah argumentasi, di antaranya:

1.       Dalam syariat Islam wanita tidak dianjurkan mengucapkan SUBHANALLAH saat meluruskan kesalahan imam shalat, tapi bertepuk tangan.

2.       Ketika shalat berjamaah, wanita dianjurkan men-sirr-kan (melirihkan) bacaan aminnya jika ada laki-laki yang bukan mahramnya dalam jamaah itu. Kecuali saat bersama dengan sesama wanita dan laki-laki yang mahramnya atau suaminya.

3.       Wanita tidak dibenarkan adzan dan iqamah, saat bersama jamaah kaum laki-laki, kecuali untuk sesama kaum wanita saja.

4.       Wanita dilarang menghentakkan perhiasan dikakinya sehingga menimbulkan suara, maka suara mereka dalam nyanyian lebih layak untuk dilarang.

Maka, kenyataan ini menunjukkan tidak pantas bagi kaum wanita bernyanyi lalu  diperdengarkan laki-laki yang bukan mahramnya, atau bukan suaminya. Padahal membaca subhanallah, amin, dan adzan, adalah dzikir .. maka apalagi nyanyian yang kadang mendayu-dayu, melengking, merendah, dan seterusnya, maka dia lebih layak dilarang lagi.

Syakh Abdurraman Al Jazairi _Rahimahullah_ menjelaskan:

فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك ولذلك كره الفقهاء أذان المرأة لأنه يحتاج فيه إلى رفع الصوت والمرأة منهية عن ذلك وعلى هذا فيحرم رفع صوت المرأة بالغناء إذا سمعها الأجانب سواء أكان الغناء على آلة لهو أو كان بغيرها وتزيد الحرمة إذا كان الغناء مشتملا على أوصاف مهيجة للشهوة كذكر الحب والغرام وأوصاف النساء والدعوة إلى الفجور وغير ذلك

_Allah ﷻ telah melarang sengaja mendengarkan suara wanita karena hal itu menunjukkan perhiasan wanita,  maka  haramnya meninggikan suaranya lebih pantas diharamkan, oleh karena itu para ahli fiqih memakruhkan azan kaum wanita karena azan membutuhkan suara yang ditinggikan dan wanita dilarang untuk itu. Oleh karena itu, diharamkan meninggikan suara wanita dalam nyanyian jika yang mendengarkannya adalah laki-laki bukan mahramnya sama saja apakah pakai alat musik, atau tidak, dan keharamannya bertambah jika nyanyian tersebut mengandung penyifatan yang bisa menimbulkan syahwat seperti senandung cinta, rindu, penggambaran tentang wanita, dan ajakan kepada perbuatan keji dan lainnya_.[1]

📕 *Pihak yang membolehkan.* Mereka memberikan sejumlah argumentasi, di antaranya sebagai berikut:

1.       Nabi Muhammad ﷺ dan sebagian sahabat yang paling utama pernah mendengarkan wanita bernyanyi

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah ﷺ   keluar melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan  BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia masih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu. [2]

             Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

_Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah._ [3]

2.       Nabi Muhammad ﷺ juga mendengarkan beberapa gadis wanita bernyanyi saat resepsi pernikahan

Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ  datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah ﷺ  bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” [4]

Syakh Wahbah Az Zuhaili _Rahimahullah_ – sebagian kalangan mnyebutnya Imam An Nawawinya zaman ini- juga mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

_Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah._ [5]

                Jadi, tidak ada pembolehan secara mutlak. Pihak yang membolehkan pun memberikan syarat yaitu tidak memunculkan fitnah bagi pendengarnya; yaitu munculnya syahwat atau angan-angan syahwat. Sementara di sisi penyanyinya, mesti sopan dan berpakaian yang dibenarkan syariat, ada pun  yang penampilannya seronok, tarian, goyangan, dan lirik lagunya pun berisikan kekejian akhlak, maka tidak syak lagi keharamannya, walaupun penyanyinya laki-laki pun tidak dibenarkan yang seperti itu.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili _Rahimahullah_ berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة.

_Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ  untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran,  disebabkan khawatir lahirnya fitnah._ [6]

                _“Munculnya fitnah”_ kadang menjadi sesuatu yang sulit diukur karena masing-masing orang berbeda dampaknya, dan jangan dikira ini hanya dialami laki-laki, wanita pun bisa mengalami hal serupa saat mendengarkan nyanyian atau rayuan laki-laki.  Oleh karena itu, mengambil sikap hati-hati dan mengambil sadd adz dzara’i (preventif) adalah lebih utama dan lebih aman bagi manusia yang cemburu kepada agama dan akhlak yang luhur.

Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar _Hafizhahullah_ berkata dalam _Al Waadhih:_

سد الذرائع : هو منع الأمر المباح الذى يتواصل به الى المحرم، سواء قصد به فاعله الوصول الى المحرم، أو لم يقصد ذلك، فيمنع لئلا يتوصل به إلى المحرم غيره من الناس

                Sadd Adz Dzara’i adalah larangan terhadap perkara yang mubah yang bisa mengantarkan kepada hal yang diharamkan. Sama saja, apakah dia memaksudkan dari perbuatan itu sampai kepada perkara haram atau dia tidak memaksudkannya, maka ini dilarang agar dia dan orang lain tidak sampai kepada hal yang diharamkan.[7]

 Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Abdurrahman Al Jazairiy, Al Fiqh ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 5/26

[2] HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih

[3] Imam Ali Al Qari, Mirqah Al-Mafatih, 9/3902

[4]HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570

[5] Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 2/116

[6] Ibid, 1/665

[7] Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar, Al Waadhih fi Ushul Al Fiqh, Hal. 159

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu'man Hasan
🔈 Join Channel: bit.ly/1Tu7OaC
🅿️ Fanpage: https://facebook.com/ustadzfaridnuman
🌐 Kunjungi website resmi: alfahmu.id

Jumat, 08 Februari 2019

Menjadi Makhluq Allah Yang Istimewa (Rangkuman Training For Qur’anic Teacher Metode Tikrar)


Pelatihan menghapal Al-Qur’an dengan menggunakan “metode Tikrar” -Hapal Al-Qur’an tanpa menghapal-
Kerjasama JSIT kota Depok dengan Syaamil Qur’an
Bertempat di SMPIT Rahmaniyah Full Day School (Rafuscho). Kamis, 7 Februari 2019.
************************************************************************
Alhamdulillah, diberi kesempatan kembali mendulang ilmu yang -in syaaAllah- sangat bermanfaat ini. Sebagai seorang guru yang bergelut di bidang pengajaran Al-Qur'an, maka meng-upgrade kualitas diri adalah keniscayaan, karena ilmu pendidikan itu dinamis, ia selalu berkembang dan metodenya pun selalu actual. Harus dipahami juga bahwa orang yang ingin memberikan sesuatu kepada orang lain tentu ia harus memiliki dulu sesuatu tersebut, sangat mustahil seseorang dapat memberikan sesuatu sedangkan sesuatu itu tidak ada pada dirinya. Begitu pun seorang guru, jika ia ingin memberikan pembelajaran yang terbaik kepada peserta didiknya maka ia harus memiliki dulu ilmu yang ia akan ajarkan kepada mereka.
فاقد الشيء لا يعطي
Orang yang tak mempunyai sesuatu, tidak akan bisa memberikan sesuatu.


Rangkuman Hasil Pelatihan

Penghapalan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tikrar ini secara umum tidak terlalu berbeda dengan proses pembelajaran tahfizh di SDIT Rahmaniyah, dimana seorang guru mentalqinkan bacaannya kepada murid kemudian murid mengikutinya secara berulang-ulang, karena tikrar itu sendiri berarti mengulang. Hanya saja metode tikrar ini lebih komprehensif dan lebih teratur dalam menjalankan prosedur pembelajarannya sehingga antara step ke step selanjutnya ia lebih teratur pelaksanaannya. Ditambah lagi p
erangkat dan media pembelajarannya sudah lengkap. Dan setiap pergantian pembelajaran pada sekolah formal, apapun itu pelajarannya, harus diawali dengan muroja’ah/tilawah 3 – 5 menit. Kalau di SDIT Rahmaniyah bisa digunakan pada waktu apersepsi.

Saya hanya akan menuliskan beberapa point penting saja yang berkaitan langsung dengan pembelajan siswa tingkat sekolah dasar. Kurikulum pembelajarannya disesuaikan dengan target yang dibuat oleh sekolah masing-masing, jika targetnya 2 juz, maka ada pembagiannya perkelas atau pertahun, begitu juga jika targetnya 3 juz maka ada pembagian surat dan halamannya perkelas atau pertahun.
Target pembelajaran tamat kelas 6 hapal al-qur’an 2 juz maka pembagiannya 3 tahun pertama hapal juz 30 dan 3 tahun kedua hapal juz 29.
Perlu diketahui bahwa di dalam metode Tikrar, Al-Qur’annya terbagi menjadi 4 maqro’ setiap halamannya, setiap maqro’ terdapat 2 maqtho’. Maka dalam setiap satu halaman terdapat 8 maqtho’.

Metode talaqqi selama 10 – 15 menit:
1.      Guru membaca ayat, satu kali kemudian diikuti oleh murid. Lakukan hal tersebut 3 kali.
2.      Murid mengulangi ayat yang ditalaqqikan minimal 3 kali secara bersama-sama
3.      Murid membacakan ayat yang ditalaqqikan sambal melihat benda-benda yang ada disekitarnya.
4.      Guru meminta beberapa murid untuk membacakan ayat dengan memejamkan mata
5.      Kemudian guru mengajak untuk kembali membacakan ayat dengan bersama-sama sebanyak 3 kali
6.      Guru melanjutkan talaqqi ayat berikutnya.
7.      Sebelum pembelajaran ditutup guru meminta kepada murid untuk membaca seluruh ayat yang sudah ditalaqqikan secara bersama-sama.
8.      Setelah proses menghapal.
Baca tanpa suara → baca dalam hati → baca dengan suara kembali.
Jadwal Harian Murid SD
Senin: menambah hapalan maqtho’ 1. Selasa: Muroja’ah Maqtho’ 1.  Rabu: menambah hapalan maqtho’ 2 dan muroja’ah maqtho’ 1.  Kamis: Muroja’ah Maqtho’ 2.  Jum’at: menambah hapalan lagi. Dan hari sabtu dan ahad: muroja’ah semua hapalan minimal setengah halaman.
Jadwal Kegiatan dalam satu Pertemuan 60-90 menit (2-3 JP/Jam Pelajaran):
1.      Pembukaan:
ü  Do’a
ü  Pengkondisian dan pengecekkan kelengkapan belajar
ü  Apersepsi dll.
2.      Pembelajaran inti:
ü  Motivasi penanaman karakter qur’aniy
ü  Mengulang hapalan sebelumnya
ü  Evaluasi setoran hapalan sebelumnya
ü  Talqin / talaqqi hapalan baru
3.      Penutup:
ü  Pesan-pesan
ü  Penugasan
ü  Do’a
Media belajar:
1.      Sarana Pokok;
a.      Al-Qur’an Tikrar
b.      Al-Qur’an Terjamah
c.       Panduan Aplikatif Metode Tikrar (di SD Rahmaniyah lebih dikenal dengan buku pemantau, tapi yang ini lebih lengkap dengan mencakup panduan menghapal)
d.      MP3 Qur’an Mu’allim.
2.      Sarana Tambahan;
a.      Poster Motivasi Tahfizh Al-Qur’an
b.      Buku motivasi hafal Al-Qur’an
c.       Kaos motivasi hafal Al-Qur’an
d.      Sticker dan pin motivasi hafal Al-Qur’an (bias buat reward juga)
e.      Film motivasi hafal Al-Qur’an.
3.      Camp Qur’an
4.      Musabaqoh hifzhul qur’an
5.      Kunjungan wisata qur’aniy
6.      Wisuda hifzhul qur’an.

Demikianlah sedikit “Oleh-oleh” dari hasil Training For Qur’anic Teacher Metode Tikrar.
Semoga bisa diaplikasikan dalam pembelajaran kepada anak-anak, baik di sekolah maupun di rumah. Dan Semoga Allah memberikan bimbinganNya dan menjadikan diri yang faqir ini menjadi dari bagian Ahlul Qur'an yang merupakan AhliNya dan orang yang Dia istimewakan. Aamiin.


Menghapal Alqur’an..!            >>>>>>    Pasti Bisa, In syaaAllah
Ahlul Qur’an..!!                       >>>>>>    Terbaik Terbaik Terbaik


Wassalam

Melvin Irawansyah