Sabtu, 25 Agustus 2018

Menjadi Ayah Yang Tetap Dekat Dengan Anak Meski di Tengah Kesibukan.


Selama ini para ayah dikenal sebagai sosok kepala keluarga yang sibuk. Sehingga sebagian dari mereka bisa dikatakan jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Namun sebenarnya bukan sekedar banyaknya waktu yang diperlukan Si kecil untuk bisa semakin dekat dengan Anda. Sebab kualitas kebersamaan juga penting di sini.

Ini adalah bahan renungan bagi saya dan kita semua. Menjadi ayah bukan sekedar memiliki anak, tapi harus tau hak anak dan tanggungjawab kita sebagai ayah.

Irwan Rinaldi, penggagas komunitas Ayah untuk Semua, dalam seminar singkat Hari Ayah Nasional di Cilandak (12/11) mengungkapkan bahwa ayah juga berperan penting pengasuhan anak. “Menurut teori apa saja, mengasuh anak itu ya harus berdua. Mau di manapun pengasuhan anak itu ya ayah dan ibu,” ucapnya.

Menurut Irwan, terdapat empat hal penting tentang pengasuhan anak yang perlu diperhatikan para ayah sibuk:

1. Perhatikan ucapan Anda saat anak bangun dan akan tidur

Membangunkan Si kecil dengan kalimat yang lembut. Sebab kalimat pertama yang didengar oleh anak, berpengaruh baik pada moodnya di hari itu.

Selain itu, disarankan juga agar tidak membiarkan anak tertidur di depan televisi. Lebih baik bila Anda mengantarkan Si kecil ke kamar tidur sambil menanyakan apa yang paling menarik baginya di hari itu. Bila dia melewati hari yang buruk, beri dukungan dan semangat. Sebaliknya, bila anak menceritakan keseruan harinya, jangan segan untuk memberikan apresiasi.

2. Kalau Tidak bisa secara kuantitas, masih ada kualitas

Bila kesibukan menyita waktu, masih ada kualitas kebersamaan yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu, para ayah disarankan rajin menceritakan dongeng atau menemaninya bermain.

3. Pahami buah hati Anda

Pengasuhan anak tidak bisa di sama ratakan. Sebab beda rentang usia, berbeda pula pola pengasuhan yang dibutuhkan buah hati Anda. Pada anak berusia 0-10 tahun, orang tua harus lebih banyak berbicara (70 persen) dan sisanya mendengarkan. Sedangkan bagi anak pra remaja hingga remaja, mereka butuh apresiasi dari orang tua. Sehingga ayah perlu lebih mendengarkan mereka (70 persen) dan berbicara (30 persen).

4.Cintai dia apa adanya

“Jangan hanya cintai anak saat raportnya bagus. Tapi apapun kondisinya cintai dia, baik sedang ingusan atau hal buruk lain,” ujar Irwan. Dalam keadaan apapun, pastikan bahwa cinta Anda pada anak tidak berubah. Jangan sampai terdengar bahwa Anda menyerah terhadap mereka.
Sebagaimana anda begitu senang dan suka dengan kelucuan mereka, maka anda juga harus tetap senang dalam mendidik mereka ketika melakukan hal yg menurut anda tidak pantas.
.......
Ya Allah, bimbinglah kami agar dapat mendidik anak kami dengan baik, dan bimbinglah kami agar kami dapat mendidik mereka dengan didikan yg Engkau redhoi. Serta anugrahkan kami anak yg sholeh dan anak yg menjadi penyejuk mata. Aamiin...
________

Sumber: Di Sini yaa

********************.      ************.        ***********.
PERAN AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK

Seminar Parenting
Oleh: Ustadz Adriano Rusfi, M.Psi

Siapa yang paling bertanggung jawab dalam hal pendidikan anak?

Ya. Ayah jawabannya.

Dalam Al Qur'an Allah kisahkan kisah-kisah bagaimana mendidik anak, dan semuanya dilakukan oleh Ayah. Ada kisah Lukman yang mendidik anak dan keluarganya, kisah Ibrahim dengan putra kesayangannya, ada kisah Imron, Zakaria dan Yakub yang berperan mendidik anak-anaknya.

Begitu pentingnya peran Ayah dalam mendidik anak hingga tujuh belas ayat dalam Al Qur'an yang menjelaskan peran orang tua dalam mendidik anak, empat belas ayat di antaranya dilakukan oleh sosok seorang Ayah, dua ayat dilakukan oleh sang Ibu dan satu ayat dilakukan oleh keduanya.

Kegagalan pendidikan anak lantaran disebabkan karena ketidakterlibatan seorang Ayah dalam pendidikan anak di keluarga. Seorang Ayah hanya fokus mencari nafkah dan berlepas diri dalam hal pendidikan anaknya dan mendelegasikan kepada sang Ibu.

Kegagalan itu tampak terlihat pada keluarga-keluarga di sekitar kita, di mana anak-anak lebih cepat mencapai masa balighnya, namun masa aqilnya terlambat jauh.

Kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan dan narkoba yang dilakukan oleh anak-anak terjadi lantaran masa baligh jauh lebih cepat dialami anak dari masa aqilnya.
Dalam Islam, masa aqil dan baligh harus hadir bersamaan pada anak-anak.

Ada beberapa perbedaan apa itu aqil dan baligh:
1. Aqil berarti dewasa dalam mental, baligh dewasa dalam hal fisik
2. Aqil karena pengaruh pendidikan sementara baligh disebabkan pengaruh nutrisi makanan.
3. Aqil terkait perkembangan otak, sedangkan baligh terkait perkembangan nafsu.
4. Aqil terkait fungsi tanggung jawab, sedangkan abaligh terkait fungsi reproduksi
5. Aqil berarti kemandirian dan tanggung jawab, sedangkan baligh berarti life and death instinct

Bukan sosok Ibu yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak, namun sosok Ayahlah yang harus mempertanggungjawabkan anak-anaknya.

Janganlah heran bila kelak ada seorang Ayah yang ahli ibadah, namun ia harus terseret ke neraka lantaran protes anak-anaknya yang tidak pernah diajarkan bagaimana menjadi anak yang sholeh dan sholehah.

Ada beberapa peran Ayah yang tak bisa digantikan oleh sosok Ibu:
1. Man of vision and mission
2. Penanggung Jawab
3. Konsultan pendidikan
4. Mendidik aqidah dan keimanan.
5. Sang ego dan individualitas
6. Membangun sistem berpikir
7. Supplier maskulinitas
8. The King of Tega.

Mind set bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab ibu harus disingkirkan jauh-jauh. Seorang Ayah harus mendominasi dalam hal mendidik anak dalam keluarga. Semakin baik peran para Ayah dalam mendidik anak di keluarga, diharapkan mampu mendorong terciptanya peradaban baru dengan generasi yang sholeh secara individu dan sosial.

PERAN AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK


Sebenarnya bukan hanya di dunia, di akhiratpun manusia-manusia beriman masih berkemungkinan untuk beroleh passive income : pahala yang terus mengalir walau badan telah berkalang tanah !

Pilihannya memang tak banyak, hanya tiga. Pertama shadaqah yang` punya multiplying effect (shadaqah jariyah); Kedua, ilmu yang dimanfaatkan, dan; Ketiga, anak shaleh yang mendoakan.

Apakah seorang ayah ingin terus dialiri pahala walau maut telah lama menjemput, lewat anak shaleh yang mendoakannya ? Sayangnya doa ini tidak gratis. Mari kita lihat bunyi doanya :
“Rabbighfir lii wa li walidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiiraa”.
“Rabbku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Dan rahmatilah keduanya, sebagaimana keduanya telah mendidikku di waktu kecil”.

Sangat jelas, doa ini tidak gratis, karena menuntut syarat (”kamaa...”). Dan syaratnya adalah pendidikan (”rabbayaa” – tarbiyyah) di waktu kecil (”shaghiiraa”). Apakah syarat ini hanya berlaku pada Sang Ibu ? Jelas tidak, karena kata ”rabbayaanii” berarti ”keduanya telah mendidik aku”.

Maka, wahai para ayah kaum beriman sedunia, ada effort yang harus anda keluarkan jika anda ingin kecipratan doa anak anda. Anda harus mendidiknya. Segera, jangan sampai terlambat, karena harus dilakukan ketika sang anak masih kecil (shaghiiraa). Atau anda harus gigit jari karena doa itu hanya sah untuk istri anda.

*Ayah, Sang Pendidik*

Seorang anak lahir karena adanya kromosom ayah dan kromosom ibu. Maka pada setiap anak tersimpan sifat maskulin dan feminin, apapun jenis kelaminnya. Adalah sangat logis jika ayah, bukan hanya ibu, turut bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Jika ibu mendidik nilai-nilai cinta, ketulusan, kasih sayang, kebersamaan, tenggang rasa dan keikhlasan, lalu siapa yang akan membentuk nilai-nilai ketegasan, keberanian, keberbedaan, profesionalisme dan perjuangan ?

Ayah ! Perannya dalam pendidikan anak bukanlah peran tambahan. Waktu dan tenaga yang harus digunakannya untuk mendidik anak bukanlah waktu dan tenaga sisa seusai lelah mencari nafkah. Maka Allah telah menjadikan sosok Luqmanul Hakim, seorang ayah, menjadi figur pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Kenapa ayah dan bukan ibu ?

Karena puncak dari seluruh ikhtiar pendidikan adalah pembentukan hikmah : kebijaksanaan. Dan inilah kekuatan Luqman dan seluruh ayah beriman di muka bumi ini.

_”Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Luqman...”_ (Q.S. Luqman : 12)

Ayah dan ibu secara bersama-sama harus mengantar anak-anaknya menuju kedewasaan, aqil-baligh. Aqil artinya dewasa mental, sementara baligh adalah dewasa fisik. Tugas ibu sangat jelas dan sesuai dengan peran kesehariannya, yaitu mengantar anak menggapai kedewasaan fisiknya (baligh).

Ia siapkan makanan bergizi, ia jaga kebersihan tubuh, pakaian dan lingkungan. Ia mandikan anak dan cucikan bajunya. Ibu juga mengobati sang anak dari sakit, memberinya vitamin dan protein, membangunkannya untuk shalat dan berolahraga. Kedewasaan emosional berupa perhatian, cinta, kasih sayang, ketulusan dan sebagainya juga telah ia berikan.

Maka giliran ayahlah mengantarkan anak pada kedewasaan mentalnya (aqil). Ayah harus mengajarkannya berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan berkreasi. Adalah kompetensi ayah untuk membuat anaknya menjadi pribadi yang berani, tegas, bertanggung jawab dan berdaya juang.

Bahkan, kalau perlu, ayahlah yang mendidik anaknya, laki-laki atau perempuan, untuk tampil beda, melawan, bertarung dan berperang. Begitu pula dengan rasa tanggung jawab, profesionalisme dan bertindak strategis.

Jika saat ini yang terbentuk adalah sebuah generasi yang dewasa secara fisik (baligh) namun sangat mentah secara mental (aqil), alias generasi remaja (baligh-non aqil), siapakah yang bersalah ?

Tak salah lagi, malapetaka generasi ini adalah ulah ayah yang tak terlibat dalam mendidik anaknya. Karena dulu, ketika ayah masih bertanggung jawab dalam pendidikan anaknya, yang lahir adalah generasi yang sepenuhnya dewasa (aqil-baligh). Setidaknya itulah yang terjadi hingga akhir abad 19.

Sebuah penelitian menarik dari Badan Narkotika Propinsi DKI Jakarta, juga menyimpulkan bahwa "anak yang kurang dekat dengan sosok ayahnya akan tujuh kali lipat lebih mudah terkena narkoba dibandingkan dengan anak yang dekat dengan sosok ayahnya".

Kesimpulan yang tak terlalu mengejutkan, karena bukankah ayah yang berkompeten dan seharusnya mengajarkan anak untuk ”Say no to drugs” ?

*Sibuk ?*

Kesibukan mencari nafkah seringkali menjadi kambing hitam yang`sangat ampuh bagi seorang ayah untuk lepas tangan dari pendidikan anak dan menyerahkan tanggung jawab ini seutuhnya kepada ibu.

Sesibuk apakah ayah dibandingkan ibu ? Apakah kesibukan itu termasuk main games menjelang pulang kantor, bercengkrama atau menbaca`koran ketika tak banyak kerjaan, atau nongkrong di kafe menunggu kemacetan reda ?

Ketika seorang ayah begitu dikepung oleh berbagai kemudahan teknologi informasi dan komunikasi (HP, Blackberry, internet dsb.), apakah masih ada cukup alasan di hadapan Allah untuk tidak turut mendidik anak ?

Tentunya seorang ayah tak dituntut untuk secara teknis dan rutin mengurusi pendidikan anak. Ia dapat berperan menjadi pengarah (director) kebijakan pendidikan anak, sedangkan pengelola (manager) dan pelaksana (executor) tetap dapat dilakukan ibu.

Sudahkan ayah merumuskan visi, misi dan strategi pendidikan anak di rumah, sesuatu yang dengan terampilnya dia lakukan di kantor ? Betapa zalimnya seorang ayah jika hal itupun jika ia bebankan kepada istrinya.

Ayah juga dapat berperan sebagai konsultan pendidikan anak bagi istrinya. Dalam keletihan, kepusingan dan kebosanan dalam menghadapi perilaku anak setiap hari, bukankah seorang istri butuh second opinion dari seseorang suami yang mampu melihat persoalan dari ”jauh” dari ”luar” dan dari ”atas” ?

Justru jarang dan terbatasnya interaksi rutin dan langsung seorang ayah dengan anak-anaknya, membuatnya lebih mampu untuk menawarkan solusi yang lebih brilyan, jernih, obyektif dan efektif kepada istrinya.

Wallahu ’alam bishshawab

(Ustaz Adriano Rusfi: konsultan pendidikan, mantan pimp. majalah UMMI)
‾‾‾‾
Baca Juga: Nasihat-luqman-kepada-anaknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar