Selasa, 06 Desember 2016

Syahid Yang Tertunda




Apakah jika kekasihmu menjemput takdir Tuhan, kembali padaNya kau akan menangis sedu sedan dan meratap tak karuan? Atau kau akan menangis sekedar dan mencoba bersabar? Atau kau berharap agar Tuhan juga mengambilmu?

Adalah Aku, seorang pemuda yang Allah pilih untuk menjadi seorang single parent di saat umurku belumlah sampai kepala tiga. Memang susah untuk menjalaninya, apalagi di saat anak masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dari kedua orangtuanya, terutama seorang ibu.
Terkadang aku lupa bahwa di luar sana masih ada orang lain yang bernasib sama denganku atau bahkan lebih memprihatinkan.

Saat membersamai sang istri, aku selalu menanamkan kalimat Jihad dalam setiap aktifitas kami, agar ia menghujam kokoh di dalam sanubari. Lebih-lebih Saat istriku melahirkan anak kami yang pertama serta perjuangannya merasakan sakit yang sangat ketika melahirkan anak kami yang kedua dengan cara premature yang sebelumnya selama dua malam berturut-turut kami harus mampir ke rumah sakit satu ke rumah sakit yang lainnya untuk mendapatkan pertolongan, tapi yang kami dapat adalah penolakan dengan berbagai macam alasan. Mulai dari ruangan penuh, tidak ada peralatan yang memadai sampai ke masalah pembiayaan yang harus dipersiapkan dengan jumlah yang sangat besar.
Itulah saat-saat yang sulit bagi kami, dan yang paling saya perihatin dengan beliau bahkan sangat membekas dalam ingatan ketika beliau berjuang melawan rasa sakit yang di deritanya menjelang ajal menjemputnya.

Saat itulah istriku bertanya tegas, seakan ingin meyakinkannya tentang komitmen kami untuk selalu bersama, bahkan tentang kematian yang selalu kami idamkan. Syahid.
“apakah abi akan syahid bersamaku?” tanyanya lirih.
saat itu, air mataku sudah tak terbendung, sementara jari jemari kami semakin erat saling menggenggam.
“iya sayang, in syaaAllah” jawabku saraya mengangguk. Jawaban yang sangat berani. Jawaban yang entah terasa bergemuruh. Bagaimana tidak saat kematian itu adalah urusan Allah sang penggenggam hidup dan mati makhlukNya, aku mengangguk begitu tegas.

Dan akhirnya itulah yang terjadi, hingga saat ini aku masih hidup. Saat syahid telah menjadi pilihan, tapi cara untuk meraih syahid itu tidaklah gampang. Sekelas Khalid bin Walid saja yang setiap saat berperang di jalan Allah tak juga Allah takdirkan syahid di sana, Allah justru mentakdirkannya syahid di atas kasurnya sendiri.
Berharap Syahid datang menyampaikan salam dari Allah kemudian menjemputku membawa kehadiratNya saat terjadi penuntutan untuk menghukum sang penista Agama pada 411, ternyata belum.

Berharap lagi saat aksi 212, aroma surga berusaha kucium, ribuan bulir dari rintikan hujan kunikmati, berharap dingin dari terpaan hujan dan terjangan angin menjembatani kedatangan sang syahid. Ternyata belum juga. Bahkan sepulang dari sana kami masih bisa tertawa dan mampir di warung makan menikmati seonggah nasi lengkap dengan lauk pauknya.

Aduhai, Jalan menuju syahid itu sangat banyak kawan. aku mungkin lupa, Allah justru sedang mempersiapkan untuk menjemput syahid dengan media yang lain, bukankah mendidik anak itu adalah jihad? Bukankah yang selama ini dilakukan tentang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an adalah jihad fi sabiilillah?
Subhaanalllah.
Saat syahid sudah menjadi pilihan hidup, maka tak kan terpatrikan lagi bahwa semua aktifitas adalah jalan untuk menggapainya.

Allahumma amitnaa alasy syahaadati fii sabilik.
Ya Allah, matikanlah kami dalam syahid di jalanMu.
Yaa Robb, perkenankanlah hambaMu ini merengkuh nikmatnya syahid di jalanmu, hari ini, besok atau kapan pun Engkau berkehendak.
Aamiin.

Minggu, 13 November 2016

Silakan Resign Dari Tempat Anda Kerja.!


Oleh : Jamil Azzaini
Saya seorang trainer sekaligus pengusaha. Tetapi, tidak gampang bagi saya mendorong orang yang bekerja untuk resign dan beralih profesi menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha memang tidak semudah yang diucapkan oleh beberapa orang yang mengaku mentor bisnis atau trainer entrepreneur.
Namun, saya menganjurkan seseorang untuk resign apabila mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, menjadi benalu. Tahu benalu, kan? Benalu adalah tanaman yang hidupnya menumpang di tanaman lain. Menjadi benalu di kantor maknanya karyawan tersebut mendapkan gaji bulanan tetapi tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan. Dalam bahasa lain, karyawan itu makan “gaji buta”.
Boleh jadi orang tersebut datang ke kantor tetapi yang dikerjakan dampaknya tidak signifikan untuk peningkatan kinerja. Kerja hanya sekedar kerja. Kerja hanya mengisi absensi alias setor muka. Orang-orang ini seolah tidak punya rasa malu.
Kedua, senang meludahi air sumur yang airnya diminum. Maksudnya apa? Kantor tempat kita bekerja adalah ibarat sumur yang airnya kita minum. Nah, faktanya ada karyawan yang senang menjelek-jelekkan kantornya tempat ia bekerja. Padahal ia mendapat gaji dan penghasilan dari kantor tersebut. Tidak tahu diri.
Ketiga, perusak suasana. Ada tipe orang yang hobinya berkomentar negatif dan jarang memberikan apresiasi. Apapun kebijakan yang diputuskan oleh pimpinan selalu dipandang dari sesi negatif. Ironisnya, komentar negatifnya itu ia tularkan ke banyak orang.
Nah, kalau Anda punya ciri-ciri tersebut di atas, bersegeralah resign. Berani?
Apabila Anda menjawab tidak berani resign, bersegeralah tinggalkan tiga ciri tersebut di atas. Jadilah manusia yang tahu diri.

Salam SuksesMulia!
Klik https://telegram.me/JamilAzzaini

"Kartini" Yang Tidak "Dikartinikan" (Potret Pahlawan Muslimah)


Dia berhijab, Karena itu ia tak pernah disebut dalam buku-buku pelajaran
Dialah pendiri sekolah islam perempuan pertama di Indonesia
Dialah murid perempuan pertama AbdulKarim Amrullah yang belajar ilmu Fiqh
Dialah wanita pertama indonesia yang alim terhadap ilmu agama sekaligus ilmu keperawatan dan kebidanan
Dialah orang yang pertama mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat
Dialah pejuang hijab ke dalam kebudayaan Indonesia
Dialah yang seharusnya menjadi KARTINI yang sesungguhnya
Karena Dia Wahabi
Karena Dia berhijab syar'i
Karena itu Dia tidak menjadi "Kartini"
"Kartini" yang tidak pernah dimunculkan profilnya. Pengaruhnya dalam dunia pendidikan begitu nyata. Bahkan sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan beliau. Dan, point yang tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung yang menutup dada itu sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka.. Allahu Akbar..
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah salah satu pahlawan wanita milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi segala aktifitas dan semangat perjuangannya.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tekadnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?"
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.
Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA).
Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan.
Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.
Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.
Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya.
Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar'i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.

Wallahu a'lam bish shawab

Sumber Anonim :-)

Kamis, 10 November 2016

Bahagiakanlah Ibumu, Bisa Jadi Ini Kesempatan Terakhir


Salah seorang jamaah pengajian bertanya : “Ustadz, bagaimana cara agar saya yang di Jakarta, tetap bisa bermuamalah baik kepada orangtua saya yang tinggal di Bogor?
Ustadz pun menjawab ringan diselipi senyum dan canda khasnya..
Ya akhi.. ana ini orang jember mau tanya ke hadirin, di Jakarta ada kereta gaks? Cepat kan ya akhi perjalanan kereta ? Ada kan kereta-nya yaa masya Allah.. Naik kereta kan bisa ya akhi.. nggak kayak dulu harus naik Unta.. lama sampainya.. ” jawab Ustadz Syafiq.
Jama’ah pun tertawa. Intinya saya mencatat kendala jarak dan waktu jangan sampai menjadi kita tidak birrul walidayn dan menjadi bangkai hidup.
Tak beberapa detik kemudian, mendadak wajah Ustadz berubah. beliau tertunduk.
Saya yang duduk dibarisan depan tepatnya arah jam 1 melihat dengan jelas beliau merapihkan kertas-kertas tanya jawab yg menumpuk menutupi kitab ustadz dan terlihat matanya berkaca-kaca, sambil tertunduk seakan (ingin menutupi kondisi beliau) namun akhirnya beliau pun angkat bicara dengan suara parau.
Ana mau cerita kisah nyata yang ana dengar dari syaikh saat menuntut ilmu di Madinah.  Semoga ana dan antum semua yg hadir bisa mendapat ibrah dan faidah dari kisah ini.
Sepasang suami istri, telah menikah 21 tahun lamanya, namun suami ini jarang sekali mengunjungi ibu-nya sendiri kecuali hanya pada hari raya saja.
Di suatu malam istri bertanya, “Wahai Suamiku, tidak inginkah kau keluar malam ini dengan seorang wanita?” Suami terkejut. “bersama seorang wanita? Apa maksudmu? Aku tak mengerti?
Sang istri berkata, “iya, Seorang wanita, Ibu-mu… Ibu-mu, wahai suamiku..”. Si suami terheran dan terdiam, merenungkan dan menyadari bahwa selama ini ia tak memiliki waktu khusus dengan ibunya.
Terlebih di usia 40 tahun ini ia sibuk dg istri , keluarga dan pekerjaannya. Ia pun segera menelpon ibu-nya, hanya untuk mengajak makan malam bersama. Saat si anak mengutarakan keinginannya, ibu-nya terheran-heran dan bingung.
Ada apa anakku? Apa yang terjadi? Ada apa dengan istri & anak2mu? Ada apa? Kenapa tiba-tiba mengajakku pergi?
Tidak ibu, istri & anak-anaku baik, pekerjaan ku juga lancar dan tidak ada apa-apa, sungguh bu tidak ada apa-apa. Begini Ibu… Aku hanya ingin mengajak ibu makan malam. Bagaimana bu ? bisa yaa
Di ujung telepon, sang ibu sangat terharu. Karena setelah sekian lama, akhirnya ia memiliki waktu khusus bersama puteranya seperti tak kala dahulu menyusui, mendidik dan mengantar puteranya sekolah.
Sore itu juga putera nya menuju rumah sang ibu, sesampai di rumah ibunya, terlihat dengan jelas ibunya sudah berdiri di depan pintu rumah dengan pakaian rapih senyum yang tulus menyambut puteranya. Sesampai di rumah sang ibu, terlihat beliau sudah berdiri di depan pintu rumah dengan pakaian yang begitu rapi, dan senyum yang teramat tulus untuk menyambut anak tercintanya. Sangat terlihat bahwa ibu-nya tak ingin terbuang waktunya barang sedetikpun.
Setelah salam keduanya menuju mobil dan masuklah ke dalam mobil, senyum kebahagiaan terus terlihat jelas dipipi sang ibu, sepanjang perjalananpun sang ibu memperhatikan puteranya dan tersenyum kepada puteranya hingga berkatalah Ibu “Nak, ibu sangat berbahagia sekali malam ini .. terimakasih ya nak…..
Puteranya pun membalasnya, “sama bu begitu juga aku, bu..”, sambil mencium tangan sang ibu. Lalu mereka pun berangkat menuju restoran.
Setelah tiba di restoran keduanya duduk dan tak berapa lama makanan telah terhidang. Si ibu menuangkan minuman ke gelas anaknya dan sesekali menyuapkan hidangan ke mulut anaknya demikian seterusnya episode kasih sayang ibu dan anak berlanjut. Si Ibu seakan tak ingin melewatkan waktu terbuang sedikitpun. Sungguh tampak sekali kerinduan dan kasih sayang yang (mungkin) tak dimiliki oleh istrinya sekalipun.
Dilanjutkan oleh ustadz bahwa singkat cerita, tak lama beberapa pekan dari makan malam tersebut, sang ibunda pun meninggal dunia… Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun.
Masya Allah … Qodarallah . Pertemuan makan malam itu adalah keberkahan terakhir bagi si anak dan ibunya.Si anak menyesali diri akan yang telah di perbuatnya selama ini.
Ya itulah malam terakhir , sungguh episode hidup yang memang di atur oleh Allah jalla Jalaluhu.kenyataan yang harus di terima dengan keihklasan dan dengan mengharap kepada Allah atas Mahabbah(Cinta), Al-Khauf (Takut) dan Ar-Rajaa’ (Harap) serta Ashma Wasshifat Allah, si anak berdoa agar Allah jalla jalaluhu menempatkan ibunda tercinta di sisi nya
Beberapa hari setelah kepergian sang ibu, si anak mendadak di hubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai manager dari salah satu restoran.
“Assalamu’alaikum, apakah benar Anda bernama fulan bin fulan? , Naam benar, itu nama saya,.. jawab si anak”. “Bapak, Anda dan sekeluarga diundang oleh seseorang untuk makan malam nanti di restoran kami,” ujar manager restoran tersebut.
“Oh begitu..sambil keheranan Kalau boleh tahu, siapa yang mengundang ya, pak?” ujarnya dengan keheranan. “Seseorang pak,” jawab si manager.
Singkat cerita Ia pun datang bersama keluarga memenuhi undangan makan malam. Lalu ia bertanya kepada pramusaji “Maaf mas, sebenarnya siapa yang mengundang kami kesini? Mana ya orangnya?”. Saya tidak tahu pak, Silakan duduk dulu pak saya nanti saya tanyakan ke bagian front office.
Tak lama pramusaji datang kembali Pramu saji tersebut menjelaskan bahwa tempat dan menu ini sudah dipesan beberapa pekan yang lalu namun pramu saji menegaskan kami untuk tenang karena semua sudah di bayar oleh si pemesan.
Pramusaji pun mohon maaf karena ternyata front office sudah berusaha menghubungi si pemesan namun tidak berhasil. Si anak, istri dan keluarganya pun semakin heran. Ditengah keheranan nya keluarga tersebut mendengar nama pemesan adalah nama yang sangat tidak asing di telinga keluarga bahkan si anak. Nama pemesannya adalah Ibunda tercinta yang telah wafat namun sudah memesan menu, tata letak persis seperti pertemuan makan malam terakhir mereka.
Jadilah kita manusia yang hidup – bukan bangkai hidup.

Ditulis oleh Abu‬ Hanifa Asep Yusuf berdasarkan Kajian dengan tema ““Bangkai Hidup”. Dengan narasumber Ustadz. DR Syafiq bin Riza bin Basalamah, Lc MA, hafizhahullah.  Yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Mei 2015 di Masjid Ar Rahmat, Slipi Jakarta.

Jumat, 07 Oktober 2016

Indahnya Cinta Karena Allah




“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).

(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”

Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq (الشقيق). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka bahwa laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudaraku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudaraku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudaraku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita.

Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita.

Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslim-muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Ucapkanlah salam kepada saudaramu. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslim dan muslimah. Insya Allah…

Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama diskusi tentang ilmu agama, atau diskusi tentang planning jangka panjang, dll. Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan serta akan menumbuhkan semangat emosional yang tinggi sehingga kecintaan sesama muslim terus terjalin hingga akhir hayat. Kemudian sekali-kali ajaklah Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu.
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.

Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudaraku fillah, berbaik sangkalah kepada saudara muslim-muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?

Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.”

Wallahu a’lam bishshowab.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan agar dapat saling mencintai karenaNya.

Kamis, 06 Oktober 2016

KEBERKAHAN GAJI (Renungan Buat Kita Semua Para Pencari Nafqah)



Seseorang datang kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.
Namun anehnya, Imam Syafi’i justru menyuruh dia untuk menemui orang yang mengupahnya supaya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.
Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya untuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta untuk mengurangi lagi gajinya menjadi 3 dirham. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran.
Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercampur dengannya.
Lalu Imam Syafi’i membacakan sebuah sya’ir:
جمع الحرام على الحلال ليكثره
دخل الحرام على الحلال فبعثره
*_Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak._*
*_Yang harampun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya._*
_____
Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima.
*Bila gaji yang kita terima tidak seimbang dengan kerja, artinya kita sudah menerima harta yang bukan hak kita. Itu semua akan menjadi penghalang keberkahan harta yang ada, dan mengakibatkan hisab yang berat di akhirat kelak.*
Harta yang tidak berkah akan mendatangkan permasalahan hidup yang membuat kita susah, sekalipun bertaburkan benda-benda mewah dan serba lux. Uang banyak di bank tapi setiap hari cekcok dengan istri. Anak-anak tidak mendatangkan kebahagiaan sekalipun jumlahnya banyak. Dengan teman dan jiran sekitar tidak ada yang baikan.
Kendaraan selalu bermasalah. Ketaatan kepada Allah semakin hari semakin melemah. Pikiran hanya dunia dan dunia. Harta dan harta. Penglihatan selalu kepada orang yang lebih dalam masalah dunia. Tidak pernah puas, sekalipun mulutnya melantunkan alhamdulillah tiap menit.
Kening selalu berkerut. Satu persatu penyakitpun datang menghampir. Akhirnya gaji yang besar habis untuk cek up ke dokter sana, periksa ke klinik sini. Tidak ada yang bisa di sisihkan untuk sedekah, infak dan amal-amal sosial demi tabungan masa depan di akhirat. Menjalin silaturrahim dengan sanak keluarga pun tidak. Semakin kelihatan mewah pelitnya juga semakin menjadi. Masa bodoh dengan segala kewajiban kepada Allah. Ada kesempatan untuk shalat ya syukur, tidak ada ya tidak masalah.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk serius dalam bekerja dan itqan, hingga rezeki kita menjadi berkah dunia dan akhirat. Aamiin..

Wallaahu a'lam.
Semoga menjadi nasehat buat saya dan kita semua.

Rabu, 28 September 2016

Khalifah Umar Takut Jika Rakyatnya Tak Berani Kritik Dirinya


Alkisah, dalam suatu kesempatan, seorang sahabat, Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi Khalifah Umar bin Khattab. Ia mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?” Jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyaknya masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih.

Kali ini Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemunkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukanya, karena segan  dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar pelan.

Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab langsung berubah ceria.

***

Salah satu kebijakan Khalifah Umar adalah membatasi Mahar Nikah. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham.

“Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul Mal,” ujar Umar.

Seketika ada seorang wanita yang langsung menyanggah pernyataan Umar.

“Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?”. Dengan penuh keberanian wanita itu melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai bicara.

Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’:20)

Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.

***

Begitulah sosok Khalifah Umar. Beliau tak alergi dengan kritik walau kritik itu disampaikan dihadapan khalayak ramai. Beliau tak gengsi mengakui kesalahan. Beliau tak khawatir citra dan wibawanya akan turun kalau ketahuan salah. Bahkan yang sangat ditakuti Umar adalah manakala tak ada yang berani atau mau mengingatkannya.

Makanya, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat termasuk dirinya, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya menyatakan: “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Ya. Luruskan walau harus dengan pedang!

Keluhuran dan kenegarawanan laku kepemimpinan Khalifah Umar ini patut di teladani oleh pemimpin kita hari ini. Bahwa kritik itu bukan menjadi problema, tapi kritik adalah penjaga atau pengontrol agar kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit. Untuk itu pemimpin harus bersahabat dengan kritik.

Sumber