Minggu, 13 November 2016

Silakan Resign Dari Tempat Anda Kerja.!


Oleh : Jamil Azzaini
Saya seorang trainer sekaligus pengusaha. Tetapi, tidak gampang bagi saya mendorong orang yang bekerja untuk resign dan beralih profesi menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha memang tidak semudah yang diucapkan oleh beberapa orang yang mengaku mentor bisnis atau trainer entrepreneur.
Namun, saya menganjurkan seseorang untuk resign apabila mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, menjadi benalu. Tahu benalu, kan? Benalu adalah tanaman yang hidupnya menumpang di tanaman lain. Menjadi benalu di kantor maknanya karyawan tersebut mendapkan gaji bulanan tetapi tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan. Dalam bahasa lain, karyawan itu makan “gaji buta”.
Boleh jadi orang tersebut datang ke kantor tetapi yang dikerjakan dampaknya tidak signifikan untuk peningkatan kinerja. Kerja hanya sekedar kerja. Kerja hanya mengisi absensi alias setor muka. Orang-orang ini seolah tidak punya rasa malu.
Kedua, senang meludahi air sumur yang airnya diminum. Maksudnya apa? Kantor tempat kita bekerja adalah ibarat sumur yang airnya kita minum. Nah, faktanya ada karyawan yang senang menjelek-jelekkan kantornya tempat ia bekerja. Padahal ia mendapat gaji dan penghasilan dari kantor tersebut. Tidak tahu diri.
Ketiga, perusak suasana. Ada tipe orang yang hobinya berkomentar negatif dan jarang memberikan apresiasi. Apapun kebijakan yang diputuskan oleh pimpinan selalu dipandang dari sesi negatif. Ironisnya, komentar negatifnya itu ia tularkan ke banyak orang.
Nah, kalau Anda punya ciri-ciri tersebut di atas, bersegeralah resign. Berani?
Apabila Anda menjawab tidak berani resign, bersegeralah tinggalkan tiga ciri tersebut di atas. Jadilah manusia yang tahu diri.

Salam SuksesMulia!
Klik https://telegram.me/JamilAzzaini

"Kartini" Yang Tidak "Dikartinikan" (Potret Pahlawan Muslimah)


Dia berhijab, Karena itu ia tak pernah disebut dalam buku-buku pelajaran
Dialah pendiri sekolah islam perempuan pertama di Indonesia
Dialah murid perempuan pertama AbdulKarim Amrullah yang belajar ilmu Fiqh
Dialah wanita pertama indonesia yang alim terhadap ilmu agama sekaligus ilmu keperawatan dan kebidanan
Dialah orang yang pertama mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat
Dialah pejuang hijab ke dalam kebudayaan Indonesia
Dialah yang seharusnya menjadi KARTINI yang sesungguhnya
Karena Dia Wahabi
Karena Dia berhijab syar'i
Karena itu Dia tidak menjadi "Kartini"
"Kartini" yang tidak pernah dimunculkan profilnya. Pengaruhnya dalam dunia pendidikan begitu nyata. Bahkan sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan beliau. Dan, point yang tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung yang menutup dada itu sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka.. Allahu Akbar..
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah salah satu pahlawan wanita milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi segala aktifitas dan semangat perjuangannya.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tekadnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?"
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.
Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA).
Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan.
Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.
Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.
Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya.
Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar'i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.

Wallahu a'lam bish shawab

Sumber Anonim :-)

Kamis, 10 November 2016

Bahagiakanlah Ibumu, Bisa Jadi Ini Kesempatan Terakhir


Salah seorang jamaah pengajian bertanya : “Ustadz, bagaimana cara agar saya yang di Jakarta, tetap bisa bermuamalah baik kepada orangtua saya yang tinggal di Bogor?
Ustadz pun menjawab ringan diselipi senyum dan canda khasnya..
Ya akhi.. ana ini orang jember mau tanya ke hadirin, di Jakarta ada kereta gaks? Cepat kan ya akhi perjalanan kereta ? Ada kan kereta-nya yaa masya Allah.. Naik kereta kan bisa ya akhi.. nggak kayak dulu harus naik Unta.. lama sampainya.. ” jawab Ustadz Syafiq.
Jama’ah pun tertawa. Intinya saya mencatat kendala jarak dan waktu jangan sampai menjadi kita tidak birrul walidayn dan menjadi bangkai hidup.
Tak beberapa detik kemudian, mendadak wajah Ustadz berubah. beliau tertunduk.
Saya yang duduk dibarisan depan tepatnya arah jam 1 melihat dengan jelas beliau merapihkan kertas-kertas tanya jawab yg menumpuk menutupi kitab ustadz dan terlihat matanya berkaca-kaca, sambil tertunduk seakan (ingin menutupi kondisi beliau) namun akhirnya beliau pun angkat bicara dengan suara parau.
Ana mau cerita kisah nyata yang ana dengar dari syaikh saat menuntut ilmu di Madinah.  Semoga ana dan antum semua yg hadir bisa mendapat ibrah dan faidah dari kisah ini.
Sepasang suami istri, telah menikah 21 tahun lamanya, namun suami ini jarang sekali mengunjungi ibu-nya sendiri kecuali hanya pada hari raya saja.
Di suatu malam istri bertanya, “Wahai Suamiku, tidak inginkah kau keluar malam ini dengan seorang wanita?” Suami terkejut. “bersama seorang wanita? Apa maksudmu? Aku tak mengerti?
Sang istri berkata, “iya, Seorang wanita, Ibu-mu… Ibu-mu, wahai suamiku..”. Si suami terheran dan terdiam, merenungkan dan menyadari bahwa selama ini ia tak memiliki waktu khusus dengan ibunya.
Terlebih di usia 40 tahun ini ia sibuk dg istri , keluarga dan pekerjaannya. Ia pun segera menelpon ibu-nya, hanya untuk mengajak makan malam bersama. Saat si anak mengutarakan keinginannya, ibu-nya terheran-heran dan bingung.
Ada apa anakku? Apa yang terjadi? Ada apa dengan istri & anak2mu? Ada apa? Kenapa tiba-tiba mengajakku pergi?
Tidak ibu, istri & anak-anaku baik, pekerjaan ku juga lancar dan tidak ada apa-apa, sungguh bu tidak ada apa-apa. Begini Ibu… Aku hanya ingin mengajak ibu makan malam. Bagaimana bu ? bisa yaa
Di ujung telepon, sang ibu sangat terharu. Karena setelah sekian lama, akhirnya ia memiliki waktu khusus bersama puteranya seperti tak kala dahulu menyusui, mendidik dan mengantar puteranya sekolah.
Sore itu juga putera nya menuju rumah sang ibu, sesampai di rumah ibunya, terlihat dengan jelas ibunya sudah berdiri di depan pintu rumah dengan pakaian rapih senyum yang tulus menyambut puteranya. Sesampai di rumah sang ibu, terlihat beliau sudah berdiri di depan pintu rumah dengan pakaian yang begitu rapi, dan senyum yang teramat tulus untuk menyambut anak tercintanya. Sangat terlihat bahwa ibu-nya tak ingin terbuang waktunya barang sedetikpun.
Setelah salam keduanya menuju mobil dan masuklah ke dalam mobil, senyum kebahagiaan terus terlihat jelas dipipi sang ibu, sepanjang perjalananpun sang ibu memperhatikan puteranya dan tersenyum kepada puteranya hingga berkatalah Ibu “Nak, ibu sangat berbahagia sekali malam ini .. terimakasih ya nak…..
Puteranya pun membalasnya, “sama bu begitu juga aku, bu..”, sambil mencium tangan sang ibu. Lalu mereka pun berangkat menuju restoran.
Setelah tiba di restoran keduanya duduk dan tak berapa lama makanan telah terhidang. Si ibu menuangkan minuman ke gelas anaknya dan sesekali menyuapkan hidangan ke mulut anaknya demikian seterusnya episode kasih sayang ibu dan anak berlanjut. Si Ibu seakan tak ingin melewatkan waktu terbuang sedikitpun. Sungguh tampak sekali kerinduan dan kasih sayang yang (mungkin) tak dimiliki oleh istrinya sekalipun.
Dilanjutkan oleh ustadz bahwa singkat cerita, tak lama beberapa pekan dari makan malam tersebut, sang ibunda pun meninggal dunia… Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun.
Masya Allah … Qodarallah . Pertemuan makan malam itu adalah keberkahan terakhir bagi si anak dan ibunya.Si anak menyesali diri akan yang telah di perbuatnya selama ini.
Ya itulah malam terakhir , sungguh episode hidup yang memang di atur oleh Allah jalla Jalaluhu.kenyataan yang harus di terima dengan keihklasan dan dengan mengharap kepada Allah atas Mahabbah(Cinta), Al-Khauf (Takut) dan Ar-Rajaa’ (Harap) serta Ashma Wasshifat Allah, si anak berdoa agar Allah jalla jalaluhu menempatkan ibunda tercinta di sisi nya
Beberapa hari setelah kepergian sang ibu, si anak mendadak di hubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai manager dari salah satu restoran.
“Assalamu’alaikum, apakah benar Anda bernama fulan bin fulan? , Naam benar, itu nama saya,.. jawab si anak”. “Bapak, Anda dan sekeluarga diundang oleh seseorang untuk makan malam nanti di restoran kami,” ujar manager restoran tersebut.
“Oh begitu..sambil keheranan Kalau boleh tahu, siapa yang mengundang ya, pak?” ujarnya dengan keheranan. “Seseorang pak,” jawab si manager.
Singkat cerita Ia pun datang bersama keluarga memenuhi undangan makan malam. Lalu ia bertanya kepada pramusaji “Maaf mas, sebenarnya siapa yang mengundang kami kesini? Mana ya orangnya?”. Saya tidak tahu pak, Silakan duduk dulu pak saya nanti saya tanyakan ke bagian front office.
Tak lama pramusaji datang kembali Pramu saji tersebut menjelaskan bahwa tempat dan menu ini sudah dipesan beberapa pekan yang lalu namun pramu saji menegaskan kami untuk tenang karena semua sudah di bayar oleh si pemesan.
Pramusaji pun mohon maaf karena ternyata front office sudah berusaha menghubungi si pemesan namun tidak berhasil. Si anak, istri dan keluarganya pun semakin heran. Ditengah keheranan nya keluarga tersebut mendengar nama pemesan adalah nama yang sangat tidak asing di telinga keluarga bahkan si anak. Nama pemesannya adalah Ibunda tercinta yang telah wafat namun sudah memesan menu, tata letak persis seperti pertemuan makan malam terakhir mereka.
Jadilah kita manusia yang hidup – bukan bangkai hidup.

Ditulis oleh Abu‬ Hanifa Asep Yusuf berdasarkan Kajian dengan tema ““Bangkai Hidup”. Dengan narasumber Ustadz. DR Syafiq bin Riza bin Basalamah, Lc MA, hafizhahullah.  Yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Mei 2015 di Masjid Ar Rahmat, Slipi Jakarta.