Rabu, 28 September 2016
Khalifah Umar Takut Jika Rakyatnya Tak Berani Kritik Dirinya
Alkisah, dalam suatu kesempatan, seorang sahabat, Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi Khalifah Umar bin Khattab. Ia mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?” Jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyaknya masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih.
Kali ini Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemunkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukanya, karena segan dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar pelan.
Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab langsung berubah ceria.
***
Salah satu kebijakan Khalifah Umar adalah membatasi Mahar Nikah. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham.
“Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul Mal,” ujar Umar.
Seketika ada seorang wanita yang langsung menyanggah pernyataan Umar.
“Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?”. Dengan penuh keberanian wanita itu melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai bicara.
Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’:20)
Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
***
Begitulah sosok Khalifah Umar. Beliau tak alergi dengan kritik walau kritik itu disampaikan dihadapan khalayak ramai. Beliau tak gengsi mengakui kesalahan. Beliau tak khawatir citra dan wibawanya akan turun kalau ketahuan salah. Bahkan yang sangat ditakuti Umar adalah manakala tak ada yang berani atau mau mengingatkannya.
Makanya, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat termasuk dirinya, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya menyatakan: “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”
Ya. Luruskan walau harus dengan pedang!
Keluhuran dan kenegarawanan laku kepemimpinan Khalifah Umar ini patut di teladani oleh pemimpin kita hari ini. Bahwa kritik itu bukan menjadi problema, tapi kritik adalah penjaga atau pengontrol agar kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit. Untuk itu pemimpin harus bersahabat dengan kritik.
Sumber
Kamis, 22 September 2016
Besanan Yuk.!
Oleh: Ustadz Hepi Andi Bastoni
Untuk mempererat hubungan kekeluargaan, Umar bin Khaththab
berniat menikahi salah satu putri Abu Bakar ash-shiddiq, khalifah pendahulunya.
Saat itu, satu-satunya putri Abu Bakar yang belum menikah adalah Ummu Katsum.
Untuk itu, Khalifah Umar bin Khaththab segera menemui ummul
mukminin Aisyah. Ia mengutarakan keinginan baiknya. Namun sayang, ketika hal
itu disampaikan Aisyah kepada adiknya, Ummu Kultsum menolak. “Saya tidak
membutuhkannya” ujar Ummu Kultsum ketus.
“Apakah kamu tidak suka kepada amirul mukminin?” tanya
Aisyah.
“Ya, dia seorang yang keras hidupnya, keras terhadap
wanita.!” Nilai Ummu Kaltsum.
Di sinilah persoalan muncul; lamaran Amirul mikminin
ditolak. Ini masalah bagi Aisyah. Bagaimana ia menyampaikan penilakkan itu
kepada Umar. Ia khawatir akan merusak hubungan baik mereka yang sudah terjalin selama ini dengan almarhum
ayahnya Abu Bakar ash-shiddiq.
Dalam kondisi demikian, Aisyah langsung ingat sebuah nama;
Amr bin Ash. Tokoh Quraisy yang sangat ahli berdiplomasi, ungkapan masyarakat
mengatakan, “jika orang-orang bingung, maka mereka akan mendatangi Amr bin Ash”.
Aisyah langsung menemui Amr bin Ash agar mengambil alih
persoalan dengan kelembutan dan kecerdasannya. Amr bin Ash pun mendatangi Umar
bin Khaththab dan mengejutkannya dengan perkataan, “Ada berita datang kepadaku.
Aku berlindung kepada Allah dari berita itu!”
Umar berkata “Apakah gerangan?”
“Engkau meminang Ummu Kaltsum binti Abu Bakar”
Umar menjawab, “ ya, apa kau tidak suka dia menikah denganku
ataukah kau tidak suka aku menikah dngannya?”
Amr menjawab, “bukan satu dari itu, tapi ia masih muda,
tumbuh di bawah bimbingan Amirul Mukminin Abu Bakar dalam kelenturan dan
kelembutan, sementara engkau memiliki sifat keras. Kami saja segan kepadamu dan
kami tidak mampu menolakmu tentang salah satu sifat dari akhlakmu. Lalu bagaimana
ia jika menyalahimu pada suatu perilaku dan engkau berlaku keras kepadanya? Engkau
mendapatkan putri Abu Bakar dengan sesuatu yang bukan hak bagimu!”
Umar menyadari apa yang ada di balik mediasi ini. Dia memahami
bahwa Amr bin Ash tidak datang begitu saja atas inisiatifnya sendiri. Umar bertanya
kepadanya seakan ingin mengetahui apa yang ada di balik misinya ini, “tapi saya
sudah berbicara dengan Aisyah?”
Seorang ahli diplomasi, tidaklah menutup celah suatu masalah
tanpa membuka celah lainnya sebagai solusinya. “saya di pihakmu untuk hal ini. Saya
akan tunjukkan yang bisa jadi lebih baik bagi anda.”
“Apa maksudmu,” tanya Umar.
“engkau lamar Ummu Kultsum yang lain. Ummu Kultsum binti Ali
bin Abi Thalib. Dengan demikian, engkau telah menyambung nasab Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dengannya” papar Amr bin Ash. Dia benar, sebab ummu Kultsum
binti Ali bin Abi Thalib masih terbilang anak Fathimah binti Rasulillah shallallahu
alaihi wasallam.
Umar pun setuju. Bergegas ia mendatangi Ali bin Abi Thalib
untuk melamar putrinya. Ali pun setuju. Pernikahan pun berlangsung.
Kisah yang diabadi juga oleh Abbas Al-Aqqad dalam karyanya Abqariyatu
Amr bin Ash ini jarang sekali diungkap. Kisah ini sekaligus menampikkan
pendapat kalangan syiah bahwa ada konflik antara Ali dan Umar. Begitu bencinya
kalangan syiah kepada Umar bin Khaththab sampai-sampai kuburan pembunuh Umar;
Abu Lu’lu’, hari ini dijadikan tempat keramat yang sangat dihormati.
Padahal, sungguh tak ada konflik antara dua tokoh utama ini.
Umar adalah mantu Ali dan Ali pun adalah mertua bagi Umar. Keduanya bersahabat
dan makin erat hubungan kekerabatannya setelah Umar menikahi Ummu Kultsum.
Begitulah para Shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam menyambung
tali kekerabatan dengan menikah.
Ini memang bukan zaman Siti Nurbaya dimana seorang anak
harus dipaksa menikah dengan orang yang tidak disukainya, namun banyak para
orang tua yang gara-gara kalimat “ini bukan zaman siti nurbaya” merasa tertekan
oleh anak-anaknya. Akhirnya mereka menyerahkan dan mempersilahkan sang anak
menikah dengan pujaanya.
Memaksa anak sehingga tidak mempunyai hak suara juga tidak
dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun spirit
menyambung kekeluargaan seperti yang diisyaratkan Umar, itu harus dijadikan
pijakan. Kita lihat empat shahabat utama Nabi shallallahu alaihi wasallam yang
terakum dalam julukan khulafaur rasyidun. Siapakah mereka?
Abu Bakar dan Umar adalah mertua sang Nabi, sebab Aisyah
Binti Abu Bakar dan Hafshoh binti Umar adalah Istri sang Nabi. Sedangkan Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah menantu Nabi shallallahu alaihi
wasallam sebab Utsman menikah dengan dua putri Rasulullah secara
bergantian; Ruqayyah dan Ummu Kultsum, adapun Ali bin Abi Thalib menikah dengan
putri beliau; Fathimah.
Jadi ikatan Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan
keempat Khalifah sepeninggal beliau tak hanya ikatan Nabi dan Ummatnya, guru
dan muridnya. Tetapi sampai pada ikatan menantu dan mertua, mertua dan menantu.
Hal seperti ini tak hanya berhenti pada kisah
keluarga-keluarga mulia tersebut. Nabi juga ikut menentukan perjodohan yang
terjadi di beberapa shahabatnya. Bacalah kembali proses perjodohan Bilal
muadzin Nabi yang berkulit hitam dan mantan budak itu dengan halah binti Auf,
saudari Abdurrahman bin Auf saudagar kaya dari suku Quraisy. Nabi yang
berkali-kali mengatakan kepada keluarga Abdurrahman bin Auf: “kemanakah kalian
dengan Bilal?” bagaimana kalian dengan calon penghuni surga itu? Dan, Perjodohan
pun terjadi.
Nikmati juga proses pernikahan fathimah binti Qais, wanita
Quraisy yang terhormat itu, saat dilamar oleh Muawiyah dan Jahm, Nabi shallallahu
alaihi wasallam mengatakan keduanya tidak ada yang cocok untuk Fathimah
binti Qais. Nabi pun memberi saran: menikahlah dengan Usamah bin Zaid bin
Haritsah, anak mantan budak Nabi shallallahu alaihi wasallam. dan
perjodohan pun terjadi.
Renungi juga tawaran Nabi shallallahu alaihi wasallam
yang meminta gadis dari keluarga Anshar agar bersedia dinikahkan dengan
julaibib, lelaki miskin dan jauh dari kata tampan. Perjodohan itu pun terjadi.
Urusan menjodohkan juga diteladani oleh para shahabat Nabi. Saat
melihat putrinya Hafshah menjanda karena suaminya meninggal, Umar mendatangi
Abu Bakar untuk menawarkan putrinya agar dinikahi oleh Abu Bakar, tapi Abu
Bakar hanya diam saja. Kemudian ditawarkan kepada Utsman, tetapi Utsman
menolak. Hingga Umar mengadu kepada Rasulullah dan kemudian dinikahi oleh
Rasulullah.
Contoh seperti ini bertebaran sangat banyak dalam sejarah
orang-orang terbaik itu. Teladan paling nyata dari sikap mereka itu adalah
mereka saing menikahkan anak-anaknya dengan orang atau keluarga yang sudah
sangat dikenalnya bahkan telah dekat karena ikatan kebersamaan satu majlis
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ikatan persahabat imani antar
mereka.
Ini bisa jadi renungan para orangtua hari ini yang sedang
galau mencari mantu. Ini bisa jadi solusi sekaligus mengembalikan fungsi
orangtua dalam memilihkan jodoh anaknya. Mengapa harus jauh-jauh menanti jodoh
sang anak jika orang-orang baik –paling tidak kita kenal baik- selama ini sudah
ada di depan kita.
Cobalah tengok kanan kiri anda. Ada banyak teman kita yang
duduk satu halaqah, kita tahu shalatnya, ibadahnya, begitu juga anaknya. Sudah lama
kita mengenal kebaikannya, ilmunya dan semangatnya membentuk keluarga Islami. Persis
seperti Umar. Ia tahu persis siapa itu keluarga Abu Bakar As-shiddiq.
Kalau ternyata ada pasangan keluarga, ternyata ia punya anak
laki-laki dan dia punya anak perempuan, ajak dia bicara serius. Bertamulah ke
rumahnya di waktu yang tepat. Lalu bisikkan ke telinganya, kita besanan, yuk.!.
Rabu, 21 September 2016
Siklus Nakalnya Anak Dengan Tidak Bijaknya Orang Tua (Renungan buat para Ortu)
Oleh: Agus Purwanto, DSc
(dosen fisika ITS penulis buku Ayat Semesta dan Nalar Ayatt Semesta,...Penggagas Trensains→ Sragen, →Jombang--Tebu Ireng-- dan →Yogja sekaligus pemilik Hak Cipta-nya)
Bagi para orang tua maupun dosen/guru yang untuk sementara waktu berprofesi sebagai pengganti orang tua di rumah. Selamat menghayati dan mengamalkan 👇
*Urutan logika...siklus nakalnya anak dengan tidak bijaknya orang tua itu begini*:
*Karena anaknya nakal...maka orang tuanya murka.*
*Karena orang tuanya murka.. maka Allah juga murka.*
*Karena Allah murka...maka tidak turun rahmat di rumah itu.*
*Karena tidak turun rahmat di rumah itu...maka keluarga itu akan banyak masalah.*
*Karena keluarga itu banyak masalah...maka anaknya...tidak merasakan kebahagiaan dan tidak nyaman...sehingga akan makin nakal.*
*Prinsip inti siklusnya* sebenarnya masih pada orang tua...yakni: 👇
*Ridla Allah...berada pada ridlanya orang tua.*
*Murka Allah...berada pada murkanya orang tua.*
Maka *strategi* paling *efisien* untuk memutus rangkaian siklus itu...Insya Allah ada *pada bagian awal*...yakni *mencegah orang tua murka*... *Bila orang tua segera menghadapi anaknya...dengan kasih sayang dan tidak dengan kemurkaan* ...maka *orang tua itu...menunjukkan kepada Allah...bahwa mereka berdua ridla kepada anaknya...Tentu bukan ridla terhadap kenakalannya.. melainkan ridla kepada diri anaknya.*
Dengan memastikan ridla kepada anak..maka orang tua akan dapat melakukan 3 tahap ini:
*1. Segera memaafkan anaknya...tidak memarahinya sama sekali...dan segera berusaha memahami situasi apa yang sedang dihadapi anaknya.*
*2. Segera menemui...berdialog dan turut mendiskusikan...solusi terbaik apa yang harus diambil oleh anak...orang tua atau pihak lainnya...sambil terus mendoakannya.*
*3. Segera melupakan segala kesalahan anaknya tadi...dan tidak mengungkit-ungkitnya kembali.*
وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
*"Bila kalian memaafkannya...menemuinya dan melupakan kesalahannya...maka ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.* (QS 64:14).
Dengan *konversi murka* menjadi *ridla*...maka sekarang siklusnya jadi begini 👉 *Suatu hari anak itu nakal...Orang tuanya...segera melakukan 3 tahap itu...dengan penuh kasih sayang...sebagai wujud keridlaan mereka kepada anaknya.*
*Karena orang tua anak itu ridla...maka Allah meridlainya.*
*Karena Allah meridlainya...maka rumah yang penuh ridla itu...dirahmati Allah.*
*Karena rumah itu penuh rahmat Allah...maka keluarga itu penuh kasih sayang...sehingga jadi makin bahagia.*
*Karena keluarga itu bahagia...maka anak tidak akan sempat lagi nakal...sebab setiap masalah hidupnya selalu segera mendapat solusi.*
*Jadi...pada setiap kenakalan anak (mohon maaf)...lokasi perbaikannya...sesungguhnya bukan pada anak...melainkan pada orang tuanya si anak...*
Semoga bermanfaat...
wallahu a'lam bis-shawab..
Jumat, 09 September 2016
Tadabbur Surat Ibrahim Ayat 24-30
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan
seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat
tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan
kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka Jahannam;
mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman. Orang-orang
kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan
(manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena Sesungguhnya
tempat kembalimu ialah neraka".
Dalam ayat ini Allah subhanahu
wata’ala mengumpamakan kalimat yang baik itu seperti pohon yang kuat dan
kalimat yang buruk itu bagaikan pohon yang rapuh. Pertanyaannya adalah; apakah
yang dimaksud dengan kalimat baik dan kalimat buruk dalam ayat ini?, inilah
nanti yang akan kita bahas dalam buku ini.
Bagian Satu: Ta’rif Surat Ibrahim
Pertama kita mengenal dulu kandungan surat Ibrahim itu secara
menyeluruh.
Surat Ibrahim ini adalah surat
yang ke empat belas dalam urutan surat dalam Al-Qur’an, surat ini diawali
dengan huruf Al-Muqotha’ah yaitu huruf Alif, Lam dan huruf ro’,
jumlah ayatnya secara keseluruhan ada 25 ayat dan jumlah hurufnya ada 3034
huruf. Mayoritas ayat dalam surat Ibrahim ini adalah makkiyah sebagaimana
diriwayatkan oleh imam ibnu abbas, qutadah dan imam zubair kecuali dua atau
tiga ayat saja yang madaniyah yaitu ayat yang berkenaan dengan
penyerangan kaum kuffar terhadap Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam peristiwa perang badar.
Dinamakan surat “Ibrahim”
dikarenakan kesempurnaan dari bagian-bagian ayat-ayatnya mayoritas menceritakan tentang
sejarah Nabi Ibrahim Abul Anbiya’ Alaihis salam, mulai dari cerita
kehidupan beliau di Makkah, hubungannya dengan kaum arab dan keturunannya Nabi
Isma’il, dan cerita tentang keduanya dalam membangun baitullah yaitu
ka’bah, serta cerita keduanya dalam berdakwah dengan hidayah yaitu memohon
kepada Allah agar dijadikannya beliau dan keturunannya beserta kaumnya diberikan rezqi yang banyak berupa buah-buahan,
dijauhkan dari menyembah berhala dan dijadikan orang yang selalu mendirikan
sholat.
Diantara isi kandungan surat
Ibrahim adalah:
1.
Pengokohan
Aqidah Islamiyah dalam setiap jiwa insan dengan berdakwah kepada Allah
berlandaskan iman yang kokoh dengan mengikuti risalah Muhammad shallallahu
alaihi walallam yaitu menjauhi peribadatan terhadap berhala.
2.
Pensyariatan
ibadah, intraksi social, adab-adab dan keutamaan-keutamaan umum dalam beribadah
seperti ritual kewajiban shalat lima waktu saat di makkah, diharamkannya
memakan harta anak yatim secara zholim, larangan melakukan kesombongan dan
lain-lain.
3.
Cerita
tentang Nabi-nabi dan ummat-ummat terdahulu, serta dakwah para Nabi terdahulu
yang mengutamakan pengokohan aqidah dan cerita adzab-adzab yang ditimpakan kepada
kaum pendusta.
4.
Secara
kalimat dan lafaz-lafaz kandungan surat Ibrahim dapat menghenyakkan hati para
musuh-musuh Allah dikarenakan keindahan bacaan dalam surat tersebut.
Bagian Dua: Tadabbur QS. Ibrahim ayat 24-30
Dalam ayat 24 Allah subhanahu
wata’ala memulai dengan kalimat
Tanya, kepada siapakah pertanyaan itu diajukan? Tentunya secara umum pertanyaan
itu adalah untuk kita para hambaNya. Allah subhanahu wata’ala seolah-olah
mengajak kita untuk berdialog serta memberikan isyarat untuk merenung. Seakan-akan
Allah subhanahu wata’ala ingin mengatakan “hai para hamba-Ku tidakkah
kalian memperhatikan ayat-ayatku?”
Dalam ayat 24 ini Allah subhanahu
wata’ala memberikan perumpamaan kalimat thoyyibah yaitu kalimat yang
baik dengan pohon yang kokoh. Apa yang dimaksud dengan kalimat yang baik, ia
adalah kalimat tauhid yaitu (Laa ilaaha Illallah). Jadi Allah subhanahu
wata’ala memberikan isyarat kepada
kita agar memperkokoh aqidah kita, sehingga Allah subhanahu wata’ala mengajak
kita untuk berdialog dengan pertanyaan “tidakkah kau perhatiakan bahwa kalimat
yang baik itu bagaikan pohon yang kokoh” dengan kata lain “tidakkah kau
perhatikan keimananmu yang kuat itu akan membuat pendirian hidupmu akan menjadi
kuat juga”, sehingga dengan kuatnya aqidah yang ada dalam jiwamu tidak akan
membuatmu terombang-ambing dengan kerasnya persaingan hidup sampai kau harus
menggadaikan keimananmu dan membuatmu mudah tergoda dengan kenikmatan semu.
Kekuatan iman itu akan
melahirkan cabang-cabang yang menjulang berupa amal yang sholeh, perkataan yang
baik, akhlaq yang mulia dan etika yang bijaksana.
Kalimat yang baik juga bisa
diartikan dengan kalimat-kalimat yang dapat mengingatkan kita kepada Allah subhanahu
wata’ala seperti untaian nasihat, kalimat dakwah, perkataan jujur, kalimat-kalimat
motivasi lainnya yang mungkin kalau seseorang mengatakannya membuat orang lain
termotivasi untuk berbuat baik dan lain sebagainya.
Dalam ayat ini para ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan pohon yang kokoh itu adalah pohon kurma,
karna pohon itu akarnya kuat mencengkram kebawah tanah, cabang-cabangnya
menjulang langit dan dapat mengeluarkan buah-buahnya disetiap musim sehingga
dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pohon tersebut memiliki sifat yang indah, bau
yang harum, buah yang baik. Begitulah hakikatnya ketika manusia sudah memiliki
aqidah yang kokoh, ibadah yang benar maka ia akan mampu memberikan kontribusi
kepada ummat, setiap langkahnya adalah tauladan bagi orang lain. Sungguh
perumpamman itu Allah subhanahu wata’ala berikan kepada kita para
hambaNya agar kita selalu ingat akan tugas-tugas kita di dunia ini.
Hal ini mengingatkan saya saat
pertama kali belajar mengaji, guru saya
menjelaskan tentang kalimatut tauhid yaitu kalimat syahadat.
Beliau menjelaskan tentang urgensi kalimat ini, karena sesungguhnya tanpa
adanya ucapan secara jelas dan keyakinan yang mendalam tentang kalimat ini maka
semua amal menjadi terputus. Orang kafir sekalipun sudah memberikan infaqnya
sedemikian banyak kalu tidak diawali dengan kalimat ini maka ketika ia mati
terputuslah amal infaqnya, makanya diantara urgensi dari kalimat tauhid ini
adalah pintu dari segala kebaikan, pintu dimana seseorang sah menjadi muslim
tatkala sudah mengucapkan kalimat ini tanpa paksaan dari siapa pun.
Di ayat selanjutnya Allah subhanahu
wata’ala memberikan perumpamaan yang sebaliknya bahwa kalimat yang buruk
atau kalimat penuh dengan kebathilan bagaikan pohon yang buruk juga, dimana
pohon yang buruk itu tidak memiliki akar yang kokoh sehingga mudah sekali
diterpa angin dan membuatnya mudah roboh.
Dalam sisi yang lain,
perumpamaan yang Allah subhanahu wata’ala berikan ini mengandung
nilai-nilai pendidikan. Dalam mendidik anak-anak kita seringkali kesulitan
memberikan pemahaman kepada mereka, lalu saat kita mulai menganalogikan dengan hal
yang lain mulailah mereka memahami maksud dari penjelasan kita. Itulah kenapa
banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam Al-Qur’an mengenai kehidupan-kehidupan
masa lalu dan analogi-analogi (perumpamaan) tentang kondisi kehidupan mereka.
Contohnya adalah tatkala orang-orang Bani Israil mengatakan tuhan kami adalah
Isa dan Ia adalah perwujudan dari anak Tuhan dikarenakan Nabi Isa alaihis
salam dilahirkan tanpa ayah, maka Allah subhanahu wata’ala membantah
perkataan tersebut dengan Firman-Nya:
"Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah
seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia."
Diantara nilai-nilai perumpamaan
yang Allah subhanahu wata’ala berikan adalah untuk mengetahui kebaikan
sesuatu atau keburukannya, mengetahui kondisi sesuatu dan perbandingannya
dengan hal yang lain.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali
terdapat kalimat-kalimat perumpamaan, begitu juga dalam hadits Nabi Muhammad shallallhu
alaihi wasallam terdapat perumpamaan. Diantaranya adalah:
مثل
المؤمنين في توادهم و تراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له
سائر الجسد بالسهر والحمى
Perumpamaan orang mukmin itu
dalam kecintaan, kasih sayang dan kelembutan
mereka bagaikan tubuh, apabila bagian tubuh terinjak duri maka tubuh
yang akan merasakan sakit yang sama.
Dalam hadits ini, bagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menanamkan pada jiwa-jiwa para sahabat dan
ummatnya beberapa nilai-nilai akhlaqiyah dan social dalam saling merasakan satu
sama lain dengan kecintaan.
Pemberian perumpamaan ini
bukanlah sekedar untuk memperindah dalam ungkapan atau agar pendengar merasa
terkesan melainkan ada tujuan-tujuan penting yang bersifat mendidik dan out put
yang tinggi nilainya. Diantara tujuan-tujuannya adalah:
1.
Untuk
mempermudah pemahaman seseorang dalam suatu perkara, agar tidak hanya memahami
suatu perkara hanya dari sisi materi (yang terlihat) saja.
2.
Memberikan
pengaruh besar dalam berinteraksi sehingga dapat ke dalam hati sanubari yang
dalam.
3.
Melatih
aqal (otak) agar berfikir jernih dan dapat memberikan qiyasan yang baik.
4.
Mengandung
motivasi yang dapat menumbuhkan kelembutan dan kedermawanan dan dapat
menjauhkan diri dari segala kemunkaran.
Selanjutnya, Allah subhanahu wata’ala menjamin kehidupan
orang beriman baik di dunia maupun di akhirat. Penyerahan diri seorang mukmin
secara total kepada Allah subhanahu wata’ala adalah modal besarnya.
Allah subhanahu wata’ala mengikat dengan kokoh orang mukmin dengan
kalimat yang kokoh juga yaitu kalimat Laa ilaaha Illallah dan di alam
akhirat (sebagian besar ulama’ tafsir menjelaskan yang dimaksud “Akhirat”
disini adalah alam barzakh yaitu di dalam kubur). Di dalam qubur nanti Allah subhanahu
wata’ala akan memberikan kekuatan kepada orang mukmin untuk dapat menjawab
pertanyaan malaikat tentang siapa Tuhan, siapa teman, siapa imam, dan lainnya.
Sedangkan orang yang tidak beriman Allah subhanahu wata’ala lupakan
ingatan mereka sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan para
malaikat di dalam qubur, dengan ketidaktahuan untuk menjawab pertanyan malaikat
tersebut maka mereka pun harus merasakan adzab yang sangat pedih.
Di sinilah kita harus tahu betapa pentingnya menanamkan pendidikan
aqidah dalam diri kita dan anak-anak kita. Aqidah islam yang benar adalah
kebutuhan primer, karena tidak aka nada kebahagiaan di dalam jiwa kita tanpa
adanya penyembahan kepada Tuhannya jiwa kita dan pemilik dari segalanya. Aqidah
islam adalah kewajiban yang sangat besar yang harus dipenuhi oleh manusia,
makanya kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallah memerintahkan untuk
memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Namun penjelan
tentang memerangi orang yang tidak beriman ini membutuhkan tahapan-tahapan yang
panjang dan memiliki prosedur dan alasan yang jelas.
Aqidah islamiyah menjamin kehidupan yang aman, nyaman serta
kebahagiaan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
"Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya."
Wallahu A'lam Bishshawab
Sabtu, 03 September 2016
Menjadi Pribadi Yang Bermanfaat Bagi Orang Lain
Salah satu muwashafat (karakteristik) seorang muslim adalah nafi’un
lighoirihi yaitu menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain. Hal ini
sudah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wallam dalam
sabdanya:
خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Maka,
kebermanfaatan seorang manusia dalam kehidupannya akan menjadi nilai tambah
bagi dirinya dalam menggapai ridho Allah dan itu akan menjadi amal jariyah
untuknya, amalan yang terus mengalir, berkembang dan menjadi tabungan kebaikan
sebagai bekalnya di yaumil akhir.
Untuk menjadi
pribadi yang seperti itu harus sudah dimulai dengan memasang niat, membulatkan
tekad bahwa kita layak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain, serta
memohon kepada Allah bahwa kita memang layak dipilih OlehNya untuk menjadi
Pribadi yang seperti itu. Maka di antara tips-tips untuk merealisasikannya
adalah:
Pertama: Membiasakan diri merasa senang dan
Bahagia dalam membatu orang lain.
Rasulullah Shallallahu
alaihi wallam bersabda:
من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس
الله عنه كربة من كرب يوم القيامة
“Barang
siapa yang melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan
melapangkan kesusahannya di hari qiyamat.”
Masih di hadits
yang sama Rasulullah Shallallahu alaihi wallam bersabda:
والله في عون العبد ما كان العبد في عون
أخيه
“Allah
senantiasa menolong hambaNya selagi hamba itu menolong saudaranya.”
Dari hadits ini
sungguh jelas bahwa diantara cara agar menjadi pribadi yang bermanfaat bagi
orang lain adalah memperbanyak aktifitas membantu orang lain dengan hati yang
ikhlas dan bahagia, karena akan menjadi sia-sia apabila suatu amalan yang
dilakukan dengan keterpaksaan dan tanpa kesenangan.
Kedua: Mengenal Orang dan Memperkenalkan Diri.
Memperbanyak
berkenalan dengan orang lain adalah peluang besar dalam memperbanyak aktifitas
membantu orang lain, karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang kita lakukan
seperti; Itsar (mendahulukan orang lain dalam hal muamalah), kemudian
saling memotivasi dalam kebaikan akan kembali kepada kita sendiri sebagai
pelakunya.
Allah subhanahu
wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Haj ayat 77:
... وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
“... dan
lakukanlah kebaikan agar kamu menjadi orang yang beruntung.”
Ketiga: Mendirikan Bimbingan Belajar dan Membuat
Fasilitas Umum.
Saat ini banyak sekali anak2 yang membutuhkan bimbingan
belajar disebabkan dengan berbagai factor. Dengan mendirikan bimbingan belajar
dapat membantu anak-anak menyalurkan minat dan bakat sesuai dengan keinginan
mereka. Bukan hanya untuk jenjang anak-anak, melainkan bisa juga untuk usia
dewasa, terutama bimbingan dalam belajar baca dan menghapal Al-Qur’an.
Selain menjalankan sunnah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam yang efek dari mengajar adalah kebermanfaatan ilmu yang
akan terus mengalir pahalanya sampai hari akhir juga dapat membantu dalam mencerdaskan bangsa dan memberantas kebodohan
dan kesenjangan intlektual.
Rasulullah Shallallahu
alaihi wallam bersabda:
إذا مات ابن آدم
انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“jika Anak Adam meninggal dunia terputuslah semua amalannya
kecuali 3; Shadaqoh Jariyah, Iilmu yang bermanfaat, Doa anak Sholeh.
Membuat fasilitas umum adalah bagian dari shodaqoh
jariyah karena akan diberdayagunakan oleh banyak orang. Memang bukan hal yang mudah, karena membutuhkan
kekuatan finansial, tapi kita bisa mengajak orang yang memiliki kelebihan
rezeki untuk membuat fasilitas umum tersebut, sehingga kita menunjukkan jalan
kebaikan kepadanya.
من دل على خير فله
أجر فاعله
“Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka baginya
ganjaran seperti pelakunya”
Keempat: Memperbanyak Berbagi
Banyak sekali
cara untuk berbagi, seperti; mengadakan Baksos, membagikan sembako dll., dengan
berbagi sesungguhnya kita sedang melatih diri kita untuk dapat menerima tanpa
meminta, menebar manfaat dalam pergaulan dan berbahagia dengan suasana. Karena
apapun yang kita berikan sesungguhnya tidak akan pernah hilang, ia akan kembali
dalam bentuk yang lain.
Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
مثل الذين
ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة والله
يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم
“Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allahadalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS.
Al-Baqaroh: 261)
Kelima: Menjenguk Orang Sakit.
Rasulullah Shallallahu
alaihi wallam bersabda:
إِذَا عَادَ
الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ
فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ
أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ
أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ.
“Apabila
seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka
(seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk,
apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila
menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar
mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka
tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi
tiba.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih)
Menjenguk orang yang sedang sakit adalah sebuah kewajiban
begi seorang muslim apalagi kalau yang sakit memiliki hubungan langsung
dengannya seperti; saudara, sahabat dll.
Menjengok orang yang sakit adalah perbuatan yang mulia,
selain adab kita sebagai muslim yaitu mendoakan yang sakit, ia juga sebagai
pelajaran bagi yang mengunjungi bahwa sakit adalah bagian dari ujian dari Allah
subhanahu wata’ala.
Wallahu A’lam Bishshawab.
Semoga Bermanfaat.