Rabu, 15 Februari 2012

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan



dakwatuna.com – Para istri atau kaum wanita adalah manusia yang juga mempunyai hak tidak suka kepada laki-laki karena beberapa sifa-sifatnya. Karena itu kaum lelaki tidak boleh egois, dan merasa benar. Melainkan juga harus memperhatikan dirinya, sehingga ia benar-benar bisa tampil sebagai seorang yang baik. Baik di mata Allah, pun baik di mata manusia, lebih-lebih baik di mata istri. Ingat bahwa istri adalah sahabat terdekat, tidak saja di dunia melainkan sampai di surga. Karena itulah perhatikan sifat-sifat berikut yang secara umum sangat tidak disukai oleh para istri atau kaum wanita. Semoga bermanfaat.
Pertama, Tidak Punya Visi
Setiap kaum wanita merindukan suami yang mempunyai visi hidup yang jelas. Bahwa hidup ini diciptakan bukan semata untuk hidup. Melainkan ada tujuan mulia. Dalam pembukaan surah An Nisa’:1 Allah swt. Berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dalam ayat ini Allah dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan hidup berumah tangga adalah untuk bertakwa kepada Allah. Takwa dalam arti bersungguh mentaati-Nya. Apa yang Allah haramkan benar-benar dijauhi. Dan apa yang Allah perintahkan benar ditaati.
Namun yang banyak terjadi kini, adalah bahwa banyak kaum lelaki atau para suami yang menutup-nutupi kemaksiatan. Istri tidak dianggap penting. Dosa demi dosa diperbuat di luar rumah dengan tanpa merasa takut kepada Allah. Ingat bahwa setiap dosa pasti ada kompensasinya. Jika tidak di dunia pasti di akhirat. Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang hancur karena keberanian para suami berbuat dosa. Padahal dalam masalah pernikahan Nabi saw. bersabda: “Pernikahan adalah separuh agama, maka bertakwalah pada separuh yang tersisa.”
Kedua, Kasar
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ini menunjukkan bahwa tabiat wanita tidak sama dengan tabiat laki-laki. Karena itu Nabi saw. menjelaskan bahwa kalau wanita dipaksa untuk menjadi seperti laki-laki tulung rusuk itu akan patah. Dan patahnya berarti talaknya. Dari sini nampak bahwa kaum wanita mempunyai sifat ingin selalui dilindungi. Bukan diperlakukan secara kasar. Karena itu Allah memerintahkan para suami secara khusus agar menyikapi para istri dengan lemah lembut: Wa’aasyiruuhunna bil ma’ruuf (Dan sikapilah para istri itu dengan perlakuan yang baik) An Nisa: 19. Perhatikan ayat ini menggambarkan bahwa sikap seorang suami yang baik bukan yang bersikap kasar, melainkan yang lembut dan melindungi istri.
Banyak para suami yang menganggap istri sebagai sapi perahan. Ia dibantai dan disakiti seenaknya. Tanpa sedikitpun kenal belas kasihan. Mentang-mentang badannya lebih kuat lalu memukul istri seenaknya. Ingat bahwa istri juga manusia. Ciptaan Allah. Kepada binatang saja kita harus belas kasihan, apalagi kepada manusia. Nabi pernah menggambarkan seseorang yang masuk neraka karena menyikas seekor kucing, apa lagi menyiksa seorang manusia yang merdeka.
Ketiga, Sombong
Sombong adalah sifat setan. Allah melaknat Iblis adalah karena kesombongannya. Abaa wastakbara wakaana minal kaafiriin (Al Baqarah:34). Tidak ada seorang mahlukpun yang berhak sombong, karena kesombongan hanyalah hak priogatif Allah. Allah berfirman dalam hadits Qurdsi: “Kesombongan adalah selendangku, siapa yang menandingi aku, akan aku masukkan neraka.” Wanita adalah mahluk yang lembut. Kesombongan sangat bertentangan dengan kelembutan wanita. Karena itu para istri yang baik tidak suka mempunyai suami sombong.
Sayangnya dalam keseharian sering terjadi banyak suami merasa bisa segalanya. Sehingga ia tidak mau menganggap dan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali. Bahkan ia tidak mau mendengarkan ucapan sang istri. Ingat bahwa sang anak lahir karena jasa kesebaran para istri. Sabar dalam mengandung selama sembilan bulan dan sabar dalam menyusui selama dua tahun. Sungguh banyak para istri yang menderita karena prilaku sombong seorang suami.
Keempat, Tertutup
Nabi saw. adalah contoh suami yang baik. Tidak ada dari sikap-sikapnya yang tidak diketahui istrinya. Nabi sangat terbuka kepada istri-istrinya. Bila hendak bepergian dengan salah seorang istrinya, nabi melakukan undian, agar tidak menimbulkan kecemburuan dari yang lain. Bila nabi ingin mendatangi salah seorang istrinya, ia izin terlebih dahulu kepada yang lain. Perhatikan betapa nabi sangat terbuka dalam menyikapi para istri. Tidak seorangpun dari mereka yang merasa didzalimi. Tidak ada seorang dari para istri yang merasa dikesampingkan.
Kini banyak kejadian para suami menutup-nutupi perbuatannya di luar rumah. Ia tidak mau berterus terang kepada istrinya. Bila ditanya selalu jawabannya ngambang. Entah ada rapat, atau pertemuan bisnis dan lain sebagainya. Padahal tidak demikian kejadiannya. Atau ia tidak mau berterus terang mengenai penghasilannya, atau tidak mau menjelaskan untuk apa saja pengeluaran uangnya. Sikap semacam ini sungguh sangat tidak disukai kaum wanita. Banyak para istri yang tersiksa karena sikap suami yang begitu tertutup ini.
Kelima, Plinplan
Setiap wanita sangat mendambakan seorang suami yang mempunyai pendirian. Bukan suami yang plinplan. Tetapi bukan diktator. Tegas dalam arti punya sikap dan alasan yang jelas dalam mengambil keputusan. Tetapi di saat yang sama ia bermusyawarah, lalu menentukan tindakan yang harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Inilah salah satu makna qawwam dalam firman Allah: arrijaalu qawwamuun alan nisaa’ (An Nisa’:34).
Keenam, Pembohong
Banyak kejadian para istri tersiksa karena sang suami suka berbohong. Tidak mau jujur atas perbuatannya. Ingat sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh ke tanah. Kebohongan adalah sikap yang paling Allah benci. Bahkan Nabi menganggap kebohongan adalah sikap orang-orang yang tidak beriman. Dalam sebuah hadits Nabi pernah ditanya: hal yakdzibul mukmin (apakah ada seorang mukmin berdusta?) Nabi menjawab: Laa (tidak). Ini menunjukkan bahwa berbuat bohong adalah sikap yang bertentangan dengan iman itu sendiri.
Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang bubar karena kebohongan para suami. Ingat bahwa para istri tidak hanya butuh uang dan kemewahan dunia. Melainkan lenbih dari itu ia ingin dihargai. Kebohongan telah menghancurkan harga diri seorang istri. Karena banyak para istri yang siap dicerai karena tidak sanggup hidup dengan para sumai pembohong.
Ketujuh, Cengeng
Para istri ingin suami yang tegar, bukan suami yang cengeng. Benar Abu Bakar Ash Shiddiq adalah contoh suami yang selalu menangis. Tetapi ia menangis bukan karena cengeng melainkan karena sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Namun dalam sikap keseharian Abu Bakar jauh dari sikap cengeng. Abu Bakar sangat tegar dan penuh keberanian. Lihat sikapnya ketika menghadapi para pembangkang (murtaddin), Abu Bakar sangat tegar dan tidak sedikitpun gentar.
Suami yang cenging cendrung nampak di depan istri serba tidak meyakinkan. Para istri suka suami yang selalu gagah tetapi tidak sombong. Gagah dalam arti penuh semangat dan tidak kenal lelah. Lebih dari itu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Kedelapan, Pengecut
Dalam sebuah doa, Nabi saw. minta perlindungan dari sikap pengecut (a’uudzubika minal jubn), mengapa? Sebab sikap pengecut banyak menghalangi sumber-sumber kebaikan. Banyak para istri yang tertahan keinginannya karena sikap pengecut suaminya. Banyak para istri yang tersiksa karena suaminya tidak berani menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Nabi saw. terkenal pemberani. Setiap ada pertempuran Nabi selalu dibarisan paling depan. Katika terdengar suara yang menakutkan di kota Madinah, Nabi saw. adalah yang pertama kaluar dan mendatangi suara tersebut.
Para istri sangat tidak suka suami pengecut. Mereka suka pada suami yang pemberani. Sebab tantangan hidup sangat menuntut keberanian. Tetapi bukan nekad, melainkan berani dengan penuh pertimbangan yang matang.
Kesembilan, Pemalas
Di antara doa Nabi saw. adalah minta perlindingan kepada Allah dari sikap malas: allahumma inni a’uudzubika minal ‘ajizi wal kasal , kata kasal artinya malas. Malas telah membuat seseorang tidak produktif. Banyak sumber-sumber rejeki yang tertutup karena kemalasan seorang suami. Malas sering kali membuat rumah tangga menjadi sempit dan terjepit. Para istri sangat tidak suka kepada seorang suami pemalas. Sebab keberadaanya di rumah bukan memecahkan masalah melainkan menambah permasalah. Seringkali sebuah rumah tangga diwarnai kericuhan karena malasnya seorang suami.
Kesepuluh, Cuek Pada Anak
Mendidik anak tidak saja tanggung jawab seorang istri melainkan lebih dari itu tanggung jawab seorang suami. Perhatikan surat Luqman, di sana kita menemukan pesan seorang ayah bernama Luqman, kepada anaknya. Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus menentukan kompas jalan hidup sang anak. Nabi saw. Adalah contoh seorang ayah sejati. Perhatiannya kepada sang cucu Hasan Husain adalah contoh nyata, betapa beliau sangat sayang kepada anaknya. Bahkan pernah berlama-lama dalam sujudnya, karena sang cucu sedang bermain-main di atas punggungnya.
Kini banyak kita saksikan seorang ayah sangat cuek pada anak. Ia beranggapan bahwa mengurus anak adalah pekerjaan istri. Sikap seperti inilah yang sangat tidak disukai para wanita.
Kesebelas, Menang Sendiri
Setiap manusia mempunyai perasaan ingin dihargai pendapatnya. Begitu juga seorang istri. Banyak para istri tersiksa karena sikap suami yang selalu merasa benar sendiri. Karena itu Umar bin Khaththab lebih bersikap diam ketika sang istri berbicara. Ini adalah contoh yang patut ditiru. Umar beranggapan bahwa adalah hak istri mengungkapkan uneg-unegnya sang suami. Sebab hanya kepada suamilah ia menemukan tempat mencurahkan isi hatinya. Karena itu seorang suami hendaklah selalu lapang dadanya. Tidak ada artinya merasa menang di depan istri. Karena itu sebaik-baik sikap adalah mengalah dan bersikap perhatian dengan penuh kebapakan. Sebab ketika sang istri ngomel ia sangat membutuhkan sikap kebapakan seorang suami. Ada pepetah mengatakan: jadilah air ketika salah satunya menjadi api.
Keduabelas, Jarang Komunikasi
Banyak para istri merasa kesepian ketika sang suami pergi atau di luar rumah. Sebaik-baik suami adalah yang selalu mengontak sang istri. Entah denga cara mengirim sms atau menelponnya. Ingat bahwa banyak masalah kecil menjadi besar hanya karena miskomunikasi. Karena itu sering berkomukasi adalah sangat menentukan dalam kebahagiaan rumah tangga.
Banyak para istri yang merasa jengkel karena tidak pernah dikontak oleh suaminya ketika di luar rumah. Sehingga ia merasa disepelekan atau tidak dibutuhkan. Para istri sangat suka kepada para suami yang selalu mengontak sekalipun hanya sekedar menanyakan apa kabarnya.
Ketigabelas, Tidak Rapi dan Tidak Harum
Para istri sangat suka ketika suaminya selalu berpenampilan rapi. Nabi adalah contoh suami yang selalu rapi dan harum. Karena itu para istrinya selalu suka dan bangga dengan Nabi. Ingat bahwa Allah Maha indah dan sangat menyukai keindahan. Maka kerapian bagian dari keimanan. Ketika seorang suami rapi istri bangga karena orang-orang pasti akan berkesan bahwa sang istri mengurusnya. Sebaliknya ketika sang suami tidak rapi dan tidak harum, orang-orang akan berkesan bahwa ia tidak diurus oleh istrinya. Karena itu bagi para istri kerapian dan kaharuman adalah cermin pribadi istri. Sungguh sangat tersinggung dan tersiksa seorang istri, ketika melihat suaminya sembarangan dalam penampilannya dan menyebarkan bahu yang tidak enak. Allahu a’lam


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/06/695/13-sifat-laki-laki-yang-tidak-disukai-perempuan/#ixzz1mVdjM8SO

Sabtu, 11 Februari 2012

Valentine Day Bukan Dari Islam


Kasih sayang sebuah nilai yang universal, semua orang di dunia menyetujui bahwa kasih sayang adalah nilai yang agung, semua orang di dunia suka akan hal itu. Sebagai sebuah agama dunia, Islam sangat menaruh perhatian terhadap kasih sayang itu. Islam memang agama kasih sayang.

Mengingat tingginya nilai kasih sayang dalam pandangan Islam, maka kasih sayang diberikan, dirayakan sepanjang waktu. Tidak ada waktu khusus untuk saling menyayangi, misalnya tahun kasih sayang, bulan kasih sayang, atau hari kasih sayang. Kasih sayang dalam Islam terjadi sepanjang hari, sepanjang kehidupan. Kalau terjadi peristiwa seperti itu, pasti bukan dari Islam.

Rabu, 08 Februari 2012

sukses hak saya, bila jatuh bangkit lagi

Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh, ukurlah ia dengan beberapa kali dia sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah jatuh, tidak akan putus asa.


read more>>
http://www.eramuslim.com/coach-corner/entrepreneur-motivation/sukses-adalah-hak-saya-bila-gagal-bangkit-lagi.htm

Gaji Guru 11-40 dinar perbulan. Mau?

oleh: Muhaimin Iqbal.
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman yang sangat berharga dari salah satu peserta rutin Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin. Kiriman tersebut adalah berupa buku tua (terbit pertama kali 1963!) - dengan judul Sejarah Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus (almarhum – Ex Rektor IAIN Imam Bonjol – Padang). Yang menarik adalah dari waktu ke waktu, umat ini mengalami pasang surutnya. Umat ini berjaya manakala iman dan ilmu dikuasai, para guru dan pendidik dihargai. Penghargaan ini tentunya tidak harus berarti uang, tetapi pemberian gaji yang baik kepada mereka dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik masyarakat menghargai para guru ini. Di salah satu jaman kejayaan Islam yang dikenal dengan generasinya Shalahuddin al Ayyubi gaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar antara 11 Dinar sampai dengan 40 Dinar sebulan! Inilah jaman ketika Islam menjadi guru dunia, bahkan guru di bidang engineering dan teknologi seperti yang ter-representasi-kan oleh Al-Jazari dengan kitabnya - Kitáb fí ma'rifat al-hiyal al-handasiyya (Buku Pengetahuan Tentang Alat-alat Mekanik yang Cerdas) - yang bahkan untuk jaman modern ini sekalipun tergolong sebagai buku yang canggih. Saya tahu tidak semua guru mengharapkan balasan materi seperti ini, tetapi masyarakatlah (terwakili oleh wakil-wakil dan pemimpinnya – dan kita semua) yang harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Agar mereka bisa fokus pada tugasnya, dan agar suatu bangsa bisa memperoleh orang-orang terbaiknya untuk menjadi guru bagi anak-anak mereka. Lantas apakah sekarang wajar seandainya kita sekarang meng-appresiasi para guru dengan gaji bulanan antara 11 Dinar sampai 40 Dinar sebulan-nya (saat tulisan ini berarti sekitar Rp 25 juta – Rp 90 juta sebulan !) di jaman ini? Saya melihat kewajarannya gaji guru di range tersebut. Mengapa? Itu kurang lebih range gaji para manager dan eksekutif perusahaan menengah di Indonesia saat ini. Jadi wajar bukan kalau kita bisa meng-appresiasi guru-guru yang professional setara dengan para manager dan eksekutif professional tersebut? Bahkan para professor di perguruan tinggi, dan guru-guru impor di sekolah-sekolah internasional yang mulai marak di negeri ini sudah melampaui range tersebut. Saya juga melihat adanya potensi kemampuan masyarakat dan negara untuk meng-appresiasi para guru ini seperti pada masa Shalahuddin tersebut di atas. Yang diperlukan adalah perubahan orientasi layanan, mana yang lebih dipentingkan. Bayangkan dengan perbandingan-perbandingan berikut: · Kepala cabang bank menengah yang melayani Anda dalam transaksi finansial, mereka sudah berada di range gaji 11 Dinar – 40 Dinar sebulan tersebut. Masak yang mengurusi transaksi yang lebih penting – yaitu transaksi Ilmu – untuk anak-anak kita, yang akan menjadi bekalnya seumur hidup tidak mendapatkan apresiasi yang minimal sama? · Manajer-manajer perusahaan telekomunikasi, perdagangan, industry dan jasa lainnya juga sudah menikmati range gaji yang layak tersebut. Mengapa tidak untuk para guru anak-anak mereka? · Wakil-wakil kita di dewan, digaji secara layak untuk pekerjaan dan produk yang sering tidak jelas – mengapa tidak untuk para guru yang pekerjaan dan produknya jelas – yaitu menyiapkan generasi unggulan kedepan – yang akan menentukan maju tidaknya bangsa ini kedepan? · Dlsb.dlsb. Meng-apresiasi secara baik untuk para guru tidak berarti harus menjadi beban yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Yang diperlukan hanyalah menggeser fokus, bila selama ini pemerintah dan masyarakat lebih suka membelanjakan anggarannya untuk produk dan jasa yang dapat dilihat atau dinikmati segera – menjadi fokus untuk menyiapkan generasi-generasi yang unggul untuk masa kini dan masa yang akan datang. Bayangkan pula dampaknya bila apresiasi terhadap para guru ini bisa diberikan secara semestinya. Potensi-potensi terbaik bangsa ini bisa bertahan menjadi guru, tidak hanya kepincut dengan pekerjaan lainnya seperti kerja di bank, menjadi manajer industry, menjadi anggota dewan dlsb. Bila masyarakat berhasil menarik orang-orang terbaik dibidangnya untuk menjadi guru, maka disitulah generasi unggulan ini akan lahir. Guru-guru dari kalangan yang terbaik dibidangnya ini selain berbekal ilmu yang cukup, mereka juga akan kreatif , inovatif dan produktif dalam mengembangkan bahan ajar-nya. Hasilnya akan sepertu spiral yang berputar keluar, guru bermutu – materi ajar bermutu – produk anak didik berkwalitas tinggi – generasi unggul – semakin tinggi apresiasinya ke ilmu dan tentu juga guru dst. Sebaliknya bila guru tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat, yang terjadi adalah seperti spiral yang berputar kedalam. Guru tidak diapresiasi semestinya – guru tidak fokus – materi ajar kurang bermutu – prestasi anak didik menurun – kwalitas generasi rendah – apresiasi terhadap guru lebih rendah lagi dst. Spiral yang berputar kedalam ini antara lain yang kita hadapi sekarang. Produk anak didik dan generasi yang jauh dari sifat keunggulannya, indikasinya antara lain adalah umat yang mayoritas ini diperdaya oleh umat lain yang minoritas dalam bidang ekonomi, politik dan masyalah-masyalah kemasyarakatan lainnya. Indikasi lemahnya generasi juga bisa kita lihat dari produk anak didik yang telah terjun ke masyarakat : bila menjadi pejabat atau birokrat dia korupsi, bila berpolitik mereka dusta, bila menjadi pedagang mereka curang, bila menjadi hakim mereka tidak berbuat adil, bila menjadi pegawai mereka kurang produktif, bila menjadi pengusaha mereka mengeksploitasi pekerja untuk kepentingan sendiri dan bila menjadi penguasa mereka sewenang-wenang. Maka situasi seperti ayam dan telur – mana yang harus didahulukan tersebut – harus kita break dan diurutkan lagi dari awal. Kalau saya memilih break ke titik awal tersebut adalah mulai dari para guru. Hidup bapak- ibu Guru!
sumber: http://www.eramuslim.com/syariah/ekonomi-syariah/muhaimin-iqbal-menjadi-guru-dengan-gaji-40-dinar-sebulan-siapa-mau.htm

Selasa, 07 Februari 2012

Ketika Harus Menangis

Menangis, tak hanya persoalan anak kecil, orang dewasa pun bisa menangis. Ada tangis bahagia, ada tangis luka. Keduanya kadang mewarnai sela-sela kehidupan kita. Tangisan adalah fitrah manusia. Sebuah kewajaran ketika kita pernah menangis, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Ketika menangis, segala perasaan tertumpah ruah di mana kadang kita sampai lupa pada akal sehat yang semestinya berjalan. Luapan emosi tak tertahankan, mengalir bersama setiap tetes air mata kita. Saya yakin, anda pun pernah menangis…? Entah dalam moment apa. Ketika seseorang menangis, jelas batin yang sedang berbicara. Hatinya terusik. Jika sudah demikian, biarkan untuk sejenak membiarkan mereka. Biarkan sampai puas, toh pada saatnya akan reda. Baru, setelahnya, kita ajak berbincang mengenai persoalan yang dihadapainya. Cara yang terbaik adalah bicara dari hati ke hati. Jika kita melihat kesalahan ada pada dirinya, biarkan mereka meluahkan segalanya lewat kata-kata yang mungkin terlontar. Menyalahkah sikapnya, bukan cara yang bijak pada kondisi seperti itu. Mengapa secara tiba-tiba saya menulis tentang persoalan remeh seputar menangis. Ya, karena sering saya tak tega melihat orang menangis. Ketika ada orang yang sedang menangis, kadang saya suka menungguinya sampai selesai. Ketika tangisan sudah reda, baru saya mencoba untuk mendengarkan keluh kesah yang dihadapinya. Bukan untuk sok bijak, hanya mencoba untuk belajar peduli saja dengan perasaan yang sedang diderita seseorang. Menangis memang sangat terkait dengan kondisi jiwa. Jiwa yang sedang tertekan, merasa cobaan begitu berat. Atau kehilangan orang yang kita cinta. Kadang hati kita merasa hancur, tak ada lagi harapan. Begitulah kondisi jiwa kita yang bisa jadi pernah kita rasakan. Dan kalau memang tak tahan, menangislah sepuasnya. Asal setelahnya, kita bisa memaknai setiap tangisan itu. Memaknai mengapa kita mesti menangis, apakah dengan menangis saja persoalan bisa terselesaikan. Kelak, anda akan menyadari dengan sendirinya. Lantas, apakah menangis identik dengan kecengengan..? Tidak juga. Justru, tangisan bisa jadi pertanda kelembutan hati kita. Contoh nyatanya, mungkin anda pernah menyaksikan anak-anak pengamen jalanan yang harus bekerja keras mendapatkan sesuap nasi, gelandangan yang bertebaran dijalan-jalan atau mereka yang harus rela tidur di emper-emper toko karena tak punya rumah. Jika anda menangis, sekedar sekali saja meneteskan air mata atau setidaknya batin anda menangis. Itulah tanda kelembutan. Sebuah potensi nurani yang perlu dipupuk. Kelak, kondisi yang demikian yang akan mengantarkan kita pada kepedulian nyata membantu orang-orang yang sedang tertimpa kesusahan. Begitu juga ketika kita menyadari pernah berlaku dholim terhadap orang lain, atau kita merasa banyak dosa. Tak mengapa anda menangis. Apalagi bagi seorang muslim. Menangis bisa menjadi refleksi atas tingkap polah kita selama ini. Sendiri dimalam hening, beranjak takbir melaksanakan sholat tahajud, bisa menjadi terapi yang baik bagi kebersihan jiwa kita. Pada malam yang demikian, menangislah. Menyadari akan eksistensi diri sebagai seorang hamba, menyadari betapa tingkah polah kita banyak yang salah, mendholimi orang, atau dosa-dosa berlumuran. Sekali lagi, menangislah. Asalkan setelahnya kita bisa mengambil makna dari setiap tetes tangisan kita. sumber: http://www.eramuslim.com/oase-iman/ketika-harus-menangis.htm

Senin, 06 Februari 2012

Menyusun Target Hidup


Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia di muka bumi ini agar manusia itu menjadi hambaNya yang terbaik, menjadi orang yang mampu mengemban beban besar, mampu berkompetisi dengan sesama, bahkan ketika manusia itu masih berupa sel-sel mani, Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan mereka saling berkompetisi untuk menuju sel telur sehingga bisa menjadi manusia utuh.
Dalam hidup manusia seringkali dihadapkan dengan banyak pilihan, ada yang dengan kesadarannya sendiri memilih suatu keadaan tertentu, ada juga yang dikarenakan pilihan orang tua atau pilihan dan dorongan seorang teman, sehingga dari sinilah hasil hidup mereka diukur untuk menjadi yang terbaik.
Pilihan adalah bagian dari tujuan, karena sebuah tujuanlah manusia memilih suatu jalan, tinggal manusia itu sendiri yang menentukan sebesar apa target yang ia pilih, sehingga semakin besar target yang ingin ia dapatkan maka semakin besar pula peluang komitmennya untuk merealisasikannya.
Rasulullah shallallhu alaihi wasallam telah mengajarkan kita untuk membuat target setinggi-tingginya. Beliau bersabda:
“mintalah firdaus yang paling tinggi”
Mengapa manusia mesti mentarget hidup dengan setinggi-tingginya, apakah manusia dianjurkan untuk ambisi dalam mendapatkan sesuatu? Tentu saja bukan itu maksudnya. Dari target yang besar dan tinggi tersebut akan membuat manusia berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya, sehingga dengan usaha tersebut jangan sampai melupakan doa dan tawakkal pada Allah subhanahu wat’ala, karena manusia hanya bisa merencanakan planingnya ke depan dan hanya Allah-lah yang menentukan semuanya.
Dalam perjalanan mencapai target bukanlah sesuatu yang mudah mencapainya semudah membalikkan telapak tangan, di dalamnya harus ada kesungguhan, kesabaran, pengorbanan dan keikhlasan hati. Makanya ketika Nabi Musa alaihi salam ingin berguru kepada Khidir, pada dasarnya beliau telah mentarget ingin mendapatkan ilmu yang banyak dari nabi khidir tersebut tapi karena nabi Musa kurang bersabar dengan syarat-syarat yang telah disepakatinya agar jangan mempertanyakan sesuatu sampai nabi Khidir sendiri yang menjelaskannya, maka ilmu yang ia dapatkan hanya sampai di batas perjanjian mereka saja. Rasulullah salallahu alihi wasallam mengatakan:
“seandainya musa bisa bersabar sedikit saja niscaya akan lebih banyak lagi ilmu yang akan ia dapatkan”
Khalid bin walid Adalah seorang sahabat yang selalu merindukan syahid dalam peperangan melawan kaum kuffar, sehingga ketika ia “dipecat” oleh khalifah umar bin khatab radhiyallahu ‘anhu dari kepemimpinannya beliau langsung berkata “semoga Allah memberkati umar yang telah menjadikan aku perajurit dalam peperangan ini, karena ketika aku menjadi panglima aku harus lebih banyak bertanggung jawab terhadap prajuritku, tapi ketika aku sudah menjadi prajurit biasa, aku telah menjadi bebas untuk mendapatkan cita-citaku yaitu syahid di jalan Allah” sungguh kata-kata yang luar biasa, kata-kata yang hanya keluar di mulut orang yang lebih luar biasa pula, namun Khalid hanyalah seorang manusia yang hanya bisa bercita-cita namun Allah-lah yang berkehendak. Khalid tidak syahid di peperangan tapi ia syahid di atas kasurnya sendiri.
Cita-cita tinggi harus selalu diulang-ulang dalam do’a agar tetap tumbuh subur menyemangat setiap langkah, agar tidak luntur begitu saja ketika suatu kendala sedikit menghalangi. Cita-cita tinggi benar-benar harus menyatu dengan fikiran agar ia menjelma tabiat yang positif. Pengulangan kata adalah sebuah kesinambungan untuk menyatukan antara target besar dengan kerja keras, sehingga setiap desah nafas yang dihembuskan selalu ada semangat yang bergejolak.
Kekuatan berkorban mengajak manusia untuk lebih bersabar menempuh perjalanan panjang, karena cita-cita tinggi harus dilandasi dengan niat yang agung, jangan sampai target yang diplaningkan terikuti oleh hawa nafsu. Ketenangan jiwa adalah keutuhan dalam menyeimbangkan kestabilan emosional dan pengendalian diri dengan baik, sehingga rencana yang telah tersusun rapi benar-benar menimbulkan tekad yang bulat dan menyerap dalam keimanan yang kuat.
Maka tidak heran kalau seorang Huzaifah ibnu al-yaman mengurungkan niatnya untuk membunuh abu sufyan ketika ia diutus Rasulullah shalallahu alihi wasalam untuk memeriksa kekuatan musuh pada perang khandaq atau ahzab, karena tujuan dasarnya adalah hanya meriksa kondisi musuh bukan untuk membunuh, jadi rencananya yang matang benar-benar terealisasi dengan rapi tanpa terpengaruh oleh tarikan hawa nafsunya.
Kekuatan tekad seorang huzaifah adalah kekuatan sempurna, kekuatan yang jarang dimiliki kebanyakan orang zaman modern sekarang, namun kekuatan sempurna tersebut tidak tercampur dengan ambisi yang buta. Dia benar-benar tahu sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang besarnya ganjaran bagi pejuang fi sabilillah bahkan ia tahu betul akan nikmatnya syahid di jalan Allah, tapi itu semua tidak mengantarkannya pada kekuatan yang hitam yang akan membatalkan cita-cita tertingginya.
Anis matta mengatakan “tekad adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad juga energi jiwa yang memberikan kekuatan pikiran, memang tekad bukan segalanya tapi tanpa tekad takkan ada segalanya.” Kekuatan tekad-lah yang menjadikan Nabi Nuh alaihi salam berdakwah terus menerus mengajak kaumnya kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, walaupun pengikutnya tetap tidak bertambah, karena Nuh tahu Allah tidak melihat hasil dari dakwahnya akan tetapi Allah melihat kerja kerasnya dan tekadnya yang kuat.
Kemenangan kaum muslimin dalam setiap peperangan disebabkan tekad mereka yang membaja, tekad akan cita-cita mengalahkan kaum kuffar dengan keimanan yang telah menyatu di hati mereka. Perang badar adalah salah satu contoh bagaimana keyakinan mereka akan kemenangan itu tanpa rasa ragu dan tanpa rasa sombong. Kemenangan mereka adalah kemenangan iman, kemenangan mereka adalah kemenangan yang berkesinambungan untuk perjuangan yang akan terus menyapa hidup mereka.
Lalu, kalau cita-cita itu adalah perjuangan yang harus diseimbangkan dengan kegigihan kerja, mengapa masih ada diantara manusia yang selalu berangan-angan kosong tanpa kerja nyata? Banyak sekali para pendewa ideologi tinggi tapi mereka jatuh di tengah jalan. Para sahabat pun ada yang pernah jatuh di jalan cita-citanya lalu bangkit lagi dan segera menginsafi diri untuk tetap istiqamah di jalanNya. Terjatuhnya para sahabat dalam menjalani hidup bukanlah sesuatu yang ironis namun karena mereka hanyalah manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan, terjatuhnya mereka adalah sebagai contoh bahwa manusia hanyalah manusia biasa dan amat lemah.
Tiga orang yang tidak ikut dalam perang tabuk adalah contoh bagaimana sesungguhnya cita-cita besar itu jangan sampai dianggap remeh. Mereka adalah orang yang tidak pernah melanggar perintah Nabi, tapi pada saat datang panggilan untuk segera memenuhi panggilan jihad tersebut, mereka tidak segera tanggap karena beranggapan tidak akan terlalu membebankan. Ketika semua orang sudah mulai mengangkatkan kaki, mereka tetap saja bersantai ria dan pada akhirnya mereka tertinggal jauh dari rombongan, mau menyusul pun sudah tidak mungkin kesusul. Teguranpun harus membuat hati mereka sempit selama empat puluh bulan tanpa satupun yang menyapa dan memberi ucapan salam hangat. inilah cita-cita besar ia adalah cita-cita agung yang harus terus menerus dikumandangkan agar tidak lalai.  
Tiga sahabat yang tidak ikut dalam perang tabuk tersebut juga sebagai contoh agar manusia jangan sampai menunda-nunda suatu pekerjaan. Kalau ia dapat melakukannya dengan segera maka jangan lagi menunda-nunda. Sur’atul istijabah atau bersegera dalam memenuhi suatu panggilan. Bersegera dalam memplaningkan hidup, bersegera dalam meraih cita-cita, dan bersegera menuju pengampunan Tuhan.
“dan bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu yang ganjarannya adalah surga seluas langit dan bumi…”
Bersegeralah menuju kebahagiaan, bersegeralah menuju kehidupan abadi, dan bersegeralah menggapai cita-cita tinggi dan mulia.
Akhirnya, hidup manusia hanyalah sarana untuk berbekal diri agar bisa bertemu dengan sang maha agung dengan muka berseri, agar di dunia pun dapat menjadi sebaik-baik manusia yang selalu menyerukan kebaikan dan mencegah segala kemunkaran.
“kalian adalah sebaik-baik ummat yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah subhanahu wata’ala…” (QS. Ali Imron: 110)

Minggu, 05 Februari 2012

Kutacane




Senja mulai menampakkan dirinya, tapi di kota sebesar Jakarta ini bagiku sama saja tak ada yang indah atau sesejuk tempat di mana aku dilahirkan, hanya keramaian dan gedung-gedung tinggi menjulang saja yang banyak membuat manusia ingin menginjakkan kota ini. Tak ada kicau burung yang akan menghibur hati yang sedang lara, tak ada juga pohon yang benar-benar rindang yang akan membuat hati terasa sejuk dan nyaman, yang ada hanyalah pepohonan yang ditanam di tempat tertentu yang hanya dimuati oleh para remaja tanggung yang entahlah apa yang mereka kerjakan, yang jelas aku selalu melihat mereka berpasang-pasangan, berpelukan bahkan bermanja-manja satu sama lainnya, padahal yang kutahu mereka bukanlah muhrim, yah memang zaman semakin edan, ups..! bukan zamannya yang edan tapi generasi zaman tersebut yang semakin gak karuan.
Perjalanan sore ini benar-benar pengalaman yang mungkin sangat berharga bagiku, ini perjalanan pertamaku pergi ke provinsi aceh, apalagi perjalanan ini menggunakan pesawat terbang dan gratis pula tanpa mengeluarkan sepeser pun uang dari kantongku. Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Sekali-kali aku mengerlingkan mata ke sekitar airport yang penuh dengan manusia yang akan berangkat ke luar negeri, ada yang umroh, jadi TKI dan ada pula yang hanya ingin menghabiskan liburannya di negeri tetangga.
Sebelum berangkat kami terlebih dahulu melaksanakan sholat ashar, karena perjalanan kami dimulai pukul 16.00. selesai sholat ashar kami langsung pergi ke pesawat mencari tempat duduk yang memang sebelumnya panggilan untuk kami agar bersiap-siap telah menghampiri telinga kami. 
Sampai di pesawat kami sibuk memperhatikan para pramugari yang memberi aba dan petunjuk alat yang harus kami lakukan kalau dalam keadaan gawat darurat. Dengan rifleks kami langsung menundukkan kepala dan mengucapkan doa di dalam hati. Pesawat mulai bergerak, keindahan dan tentram sangat terasa menghiasi pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang. Allahu akbaaaarrr. Aceh!!! We are coming..!!!
#          #          #
Tepat maghrib aku dan ade sampai di airport polonia kota medan Sumatra utara, perjalanan lebih kurang dua jam yang kami tempuh sedikit melelahkan sekaligus melegakan walaupun kami sendiri hanya duduk manis di atas kursi pesawat.
“kita sholat maghrib dulu yuk, sambil nunggu jemputan.!!!”
“Ok.”
Selasai chek out kami langsung menuju mushollah yang ada di sana dan langsung menunaikan sholat maghrib sekaligus jama’ dengan isya’. Tidak lama kami sholat, tiba-tiba HP temanku berbunyi.
“ya halo, waalaikumu salam. Mmm.. ya oh.. ok. Ok. “
“wan.! Kita disuruh naik taksi, mobil jemputan lagi pecah ban”
“Terus, kita disuruh berhenti di mana? Emang berapa lama lagi kita sampai ke aceh?” tanyaku sambil membenarkan retsluting jaket.
“katanya sih kita ikut aja ma taksinya entar sopirnya bakal dikasih tau. Ya kira-kira sampai subuh kita baru sampe”
Meski tampak lesu kami langsung menuju ke tempat pemesanan taksi untuk segera menuju tempat yang diinstruksikan.
Malam semakin garang menampakkan kegelapannya, namun cahaya lampu tak mau kalah menghiasi pojok kota medan. Wajah temanku terlihat bias keletihan, barang yang dibawah lumayan banyak dan berat, perjalanan terus melaju menerjang keindahan kota medan.
“dari mana pula rupanya abang ini?” sopir taksi angkat suara mengisi keheningan dengan logat bataknya.
“dari Jakarta bang” seolah malas menjawab pertanyaan sopir tersebut temanku hanya menjawab sekedarnya dan aku hanya diam tak karuan. Sampai tempat mobil jemputan tak ada lagi cakap diatara kami, kecuali keheningan dan sekali-kali sopir taksi mengelap kaca menghusap yang basah kena rintikan hujan.
Perjalanan pelan hingga sampailah kami pada suatu tempat yang kami sendiri belum kenal sama sekali tempat tersebut. Dan di situlah kami bertemu dengan orang yang menjemput kami, yang akhirnya kami kenal kalau ia adalah ust mujiono.
"ustad..!! berapa lama lagi kita sampai ke aceh?" tanyaku berbasa-basi.
"sekitar enam jam lagi akh" jawabnya saraya mengangkat barang kami ke bagasi mobil.
Selesai mengangkat barang dan memasukkannya ke bagasi, kami langsung naik semua ke dalam mobil. Perlahan mobil yang kunaiki mulai berjalan. Ternyata ustadz mujiono nyetirnya lumayan kencang sehingga aku sulit sekali untuk memejamkan mata dan untuk menghilangkan kejenuan kami saling bertukar cerita sambil mendengarkan lagu-lagu daerah yang akhirnya aku mulai tau kalau itu lagu khas suku alas. Kulihat di samping temanku ade sudah mulai pasang kuda-kuda untuk memejamkan mata. Ia memang selalu lebih nampak letih dari pada aku. Fisiknya agak lemah, begitu kata ibunya sebelum kami berpisah kemarin.
Hampir dua puluh menit sudah jiwa kami terhempas memecah malam bersama kendaraan yang selalu menggoncang tubuh kami, kuperhatikan dari awal ternyata ust. Mujiono, mengemudi sedikit agak kencang, dari ceritanya ia adalah mantan balap liar yang sering ia lakukan waktu sekolahnya dulu. Lebih khawatir lagi aku belum terbiasa naik mobil dengan kekuatan tinggi di daerah jalan yang berliku-liku dan juga nanjak seperti naik gunung. Lucunya tatkala kami menginjak sebuah lubang besar dan kami pun bergoncang hebat ustad mujiono hanya bilang "maaf ustad lubangnya sih pasrah gak mau minggir". Aku hanya senyum kecut mendengar kata itu sambil berkata "memang sekali-kali kita juga harus pasrah untuk tidak menabraknya ustad" ustad itu pun tertawa dan teman-teman yang ada di dalam mobil pun ikut tertawa.
Perjalanan kami memang mengasikkan, cerita-cerita ringan pun tak pernah lepas dari mulut sang sopir. "sebenarnya kita akan lebih menikmati perjalanan ini kalau kita berangkat di waktu sore hari ustad, karena hari masih terang dan hawanya pun terasa sejuk." Begitu kata ustad mujiono yang memang sudah pekerjaannya pulang balik dari kuta cane ke medan. Tapi lama-lama mataku mulai berat mana perut sudah meronta-ronta ingin diisi yang memang dari siang tadi belum makan. Akhirnya sempurna sudah mataku menutup bolanya.
Aku baru tersadar tatkala dibangunkan untuk makan malam, kulirik jam di HPku menunjukan pukul 01.15.
"kita udah sampai dimana nih ustad?" tanyaku sambil membenarkan posisi tempat duduk.
"di tigabinanga, kita makan dulu, perjalanan kita sekitar tiga jam lagi tad"
Kami langsung turun dari mobil, sungguh aku merasakan hawa yang luar biasa sejuk, aku teringat akan kampung halamanku yang hawanya pun lebih dingin dari sini. Selesai makan kami istirahat sekitar beberapa menit baru kami melanjutkan pejalanan, ingatanku masih terngiang tatkala aku menelfon ibuku di rumah, ia benar-benar terkejut waktu kukabarkan aku dapat amanah pengabdian di aceh, ia begitu khawatir dan tak ayallah semua peristiwa yang mengerikan ia ceritakan, mulai dari tsunami, GAM dan lain sebagainya, maklum orang tua selalu khawatir akan anaknya. Pertanyaan dan kekhawatiran itu redah tatkala kujelaskan semuanya bahwa aceh sekarang tidak sengeri yang ia gambarkan "yang penting do'a dari ibu" ujarku.
Tepat jam 04.30 kami sampai di kutacane dan kami langsung menuju sebuah pesantren yang kelak akan menjadi tempatku mengajar sekaligus menjadi sebagian dari sejarah hidupku, kami disambut oleh mudir pesantren tersebut yaitu ustad Imran Arif Sya'ban, Lc. Terus terang sampai di pesantren aku begitu ingin sekali tidur, namun baru saja aku memejamkan mata ustad imran sudah membawa segelas susu hangat, akhirnya musnah sudah ngantukku walaupun capek tak dapat kuhindari tetap memasung tubuhku. Ade Falah temanku terlihat letih sekali aku tidak tega memaksanya untuk bangun, kubiarkan saja ia istirahat sampai subuh menyapa kami.
#          #          #
Hari pertama di pesantren aku sudah merasakan seperti satu tahun. Tak taulah aku merasakan semuanya seperti hampa, minggu pertama bosan langsung menghampiri, sebab aku belum beradaptasi dengan lingkungan yang ada, anak-anak masih libur, pendaftaran siswa baru sudah ada yang ngurus. Untungnya pimpinan pesantren langsung menugaskan untuk mengisi daurah loghah untuk siswa senior yang memang mereka tidak pulang meski pun libur, dan kebosanan itu sedikit terobati.
Menginjak minggu kedua aku ikut kepanitiaan testing murid baru, dan jiwaku pun mulai menerima keadaan. Kegiatan yang ditunggu-tunggu mulai menghampiriku, Hingga kembalinya para siswa lama ke pesantren mambuatku semakin merasakan betapa indahnya kebersamaan. Anak-anak yang masih kecil, lugu terkadang menjengkelkan mulai kutemui. Namun itu semua kuanggap sebagai tantangan untuk tetap menjadi pendidik sejati. Tatkala penat mulai datang menyapa aku selalu mengingat pesan dosenku "ingat kalian di sana untuk mengabdikan diri kalian kepada masyarakat, jangan pragmatis dan juga materialistis. Perbaiki selalu niat kalian" begitulah sabait pesan yang selalu membuatku semangat menjalani khidmah ini.
Awalnya aku sangat keras menghadapi anak-anak, bukan berarti aku emosi dengan tingkah mereka, tapi lebih dari itu aku ingin yang terbaik buat mereka, sungguh terkadang miris sekali hati ini tatkala banyak diantara mereka yang banyak tidak mengerti apa sebenarnya disiplin. Aku sendiri terkadang ingin menangis melihat perlawanan mereka dengan peraturan.
Terlebih lagi godaan yang paling dahsyat adalah tatkala aku mulai tau ternyata diantara anak-anakku yang putri ada yang mirip dengan orang yang pernah singgah di hatiku, sungguh aku bukan mengada-ada, senyumnya, sifatnya yang agak malu-malu dan terkadang matanya yang suka curi-curi pandang persis sekali dengan dia yang sekarang gak tau rimbanya… ya Rabbi kuatkan hambaMu ini. Hindarkan segala keluhku yang negative itu agar aku dapat memberi mereka ilmu hikmah tanpa ada perasaan-perasaan yang salah yang dapat membuatku pilih-pilih.
"ustad…! Kenal sama ustad wiwin kan?" sapa salah seorang anakku yang sudah senior.
"ya ustad kenal, dia satu angkatan sama ustad waktu di pesantren dulu. Kenapa?"
"nggak apa-apa ustad. Kalau sama ustad wing?"
"juga" jawabku singkat"
"kalau ustazah laila?" tanyanya lagi antusias.
"ya. Bahkan semua guru yang dari palembang yang pernah mengajar di sini" jawabku tanpa ingin mengecewakannya.
Lalu mengalirlah semua kenangan yang pernah ia jalani bersama dewan guru yang ia sebutkan di atas. Dan yang paling parah adalah ketika mereka mulai membanding-bandingkan antara ustad satu dengan yang lainnya.
Akhirnya sempurna sudah jejak langkahku menjadi guru paling antagonis di pesantren ini. Tatkala pelajaran dimulai dan kulihat masih banyak anak-anak yang berada di dapur, seketika aku datang dengan membawa sebilah kayu, dan tak ayal mereka lari tunggang langgang menyaksikan aksiku, di antara mereka ada yang mulutnya masih dipenuhi nasi, ada yang minum sambil lari menghindari sapaan kayuku, terus terang aku ingin tertawa tapi itu aku simpan dalam hati agar mereka tau kalau aku serius, setelah kejadian itu aku langsung ke kamar melampiaskan tawaku. Terus terang aku memang mudah marah tapi kalau melihat sesuatu yang jenaka tawaku sulit untuk kutahan. Di kamar lepas sudah tawaku memecah sunyi sekaligus meredam emosiku.
Malamnya, seperti biasa para santri belajar malam di kelas masing-masing. Kulihat di antara mereka ada yang main kejar-kejaran, duduk-duduk bercerita entah apa alurnya, bahkan ada yang usil mengganggu teman mereka yang sedang serius belajar. Aku hanya dapat memperhatikan tingkah laku mereka, menikmati setiap gerak mereka dengan mengelus dada menahan amarah.
Sungguh aku ingin menjadi pendidik sejati, bukan hanya sekedar pengajar yang hanya mentransfer ilmu tanpa memberikan nilai-nilai moral. Aku ingin menjadi tenang melihat kegembiraan mereka, ingin tersenyum bahagia melihat kesuksesan mereka kelak. Saat mereka ingat lagi akan pesan-pesan spiritual dan "fatwaku" mungkin mereka sudah lupa dari mana mereka dapat pesan itu, bagiku itu tidak masalah yang penting mereka tetap memegang moral-moral yang selalu kusampaikan lewat nasihat dan wejanganku.
#          #          #
"Treet…tre..eett.." Bel dibunyikan tanda apel pagi di mulai, pagi ini adalah jadwalku taujih di depan anak-anak. Kuceritakan kepada anak-anak tentang perjuangan sahabat Nabi dalam memperjuangkan islam dan bertahan atas caci maki serta siksaan orang-orang kafir quraisy lalu kuqiaskan kepada mereka agar mereka selalu bersabar dan tekun dalam menuntut ilmu, tegar dalam menghadapi sulitnya menerima pelajaran. Selesai taujih aku masuk ke kelas untuk mengajarkan kepada mereka ilmu hikmah. Di antara mereka ada yang mengantuk tatkala pelajaranku berlangsung lalu kubangunkan dia dan kusuruh berwudhu'. Di antara mereka juga ada yang main-main lalu kutegur agar tetap memperhatikan pelajaran.
Aku masih ingat tatkala pertama kali aku memperkenalkan diri pada mereka, di antara mereka ada seorang siswi yang iseng bertanya "ustad statusnya apa?" yang lain pada tertawa dan nyeletuk "hus.. yang pastinya masih single lah, ya ustad kan??" aku hanya tersenyum melihat lagat mereka. Lalu spontan kujawab pertanyaan mereka "sudah menikah" dan mereka pun terkejut gak percaya
"hah. Bercanda ustad ni" serentak mereka.
"yah, ustad punya istri satu, anak satu. Sekarang dia tinggal di palembang"
"yah… gak ada kesempatan lagi ni" celetuk siswi yang duduk paling pinggir dengan disoraki sama yang lain.
"hhuuuu…"  
Sungguh aku baru kali ini mengajar di pesantren yang siswa siswinya dicampur, sehingga ia menjadi tantangan yang terbesar bagiku. Terkadang kalau lagi ada di antara mereka yang bertanya tidak segan-segan mereka mendekatiku yang mungkin jaraknya hanya sepuluh centi, terlebih lagi anak-anak yang SMP. Sifat mereka yang sedikit suka bermanja dan cari perhatian terkadang membuat aku tak bisa menahan emosi. Kalau lah bukan rahmat dari Tuhan pastilah aku sudah menjadi guru yang tak dapat menahan naluri kiri. Nauzubillah.
Di sisi lain aku selalu merasakan kasihan kalau melihat anak-anak yang sulit mengerti dengan pelajaran, lebih parah lagi kalau ada di antara mereka yang secara intelektual sangat rendah, disiplin pun tidak ada, manja lagi, uh.. kalau bukan ingat bahwa itu adalah suatu proses untuk mencapai sesuatu yang gemilang, mungkin sudah habis ia kena hukuman dariku.
Ketika ada salah seorang senior mereka bilang "ustad bodoh bisa dirajai" aku sangat sedih, begitu polosnya mereka membebaskan otak dan alur fikir mereka menuju kehidupan yang mungkin hilangnya keberkahan dalam menuntut ilmu. Banyak sekali di antara mereka yang kalau disusruh disiplin menetang bahkan melawan. Emosiku tekadang memuncak sehingga nyaris mengalahkan ideology yang kumiliki. Belum lagi harus berhadapan dengan orang tua mereka yang terlalu "sayang" dengan anaknya, sehingga bila anaknya melaporkan dengan suatu perkara, tak ayal ia pun tanpa klarifikasi lagi mengamuk menyalahkan guru-gurunya. Sungguh, hanya Tuhanlah yang maha tahu akan segala isi hati manusia.
Waktu itu selepas magrib, ketika kami dewan guru yang tinggal di ri'ayah (kantor pengasuhan santri) sedang membaca Al-qur'an, tiba-tiba datang seorang santri melaporkan bahwa di masjid ada seorang wali santri mengamuk karena anaknya dihukum oleh senior mereka, tak ayal dari ujung ke ujung para santri ribut menyaksikan kejadian itu bahkan menarik perhatian ummi pesantren. Mungkin sangking marahnya orang tua santri tersebut sampai mencaci-caci ummi tersebut bahkan ketika dia mencari-cari santri senior yang menghukukm anaknya tersebut dia bilang para dewan guru menyembunyikan santri senior itu yang memang ia langsung pergi ke ri'ayah untuk minta perlindungan, maka dia datang ke ri'ayah dan tatkala menemukannya orang tua tersebut dengan mengamuknya langsung memukul anak tersebut beberapa kali dan mungkin aksi itu tidak akan berhenti kalau tidak kami yang menahannya. "kalian guru tidak becus…" ujar sang orang tua beringas.
Besok pagi harinya aku yang memang ditugaskan sebagai ketua ri'ayah langsung koordinasi dengan kepala sekolah untuk memanggil orang tua santri tersebut untuk menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan. Namun belum selesai kami berbincang-bincang orang tua itu sudah datang dengan permintaan maaf dan sekaligus minta surat pindah untuk anaknya.
#          #          #
Embun telah menatapku sejak beberapa menit yang lalu. Menceritakan tentang sejumput asa, hari ini aku ingin menatap wajah cerah anak-anak didikku. Menatap mereka dengan tatapan cinta yang hakiki, menikmati setiap celoteh mereka dengan hangatnya tatapan anggun matanya. Tatapan yang selalu mengetuk jiwaku dan memanggil-manggil untuk terus mengajari mereka tentang ilmu hikmah. Inilah hari yang selalu kunanti setiap detik. Alangkah semua bisikan jiwaku itu hanya ungkapan berlalu dan tak pernah kunjung datang kepadaku.
Mentari tak seberapa beringas karena ini pelajaran jam pertama. Kuhampiri satu muridku yang dari tadi tidak memperhatikanku. Kutatap wajahnya hingga ia terlihat cemas menunggu apa yang akan terjadi, ketakutannya semakin menerkam hatinya hingga ia mulai memainkan tapak tangannya di bilik dadanya. kakiku makin dekat dengannya. Ia semakin gelisa ingin cepat-cepat lari layaknya seekor domba yang hendak berlari jauh dari sergapan srigala buas.
“Braaaaak….” serta merta suara keras mencuat akibat hentakan tanganku menyergap meja tua berwarna coklat di depannya.
Semua siswa-siswiku tersentak kejang. Wajah mereka menyimpan berjuta degukan jantung dan mengelus-elus dada sambil berucap istighfar.
“Apa kata kalian tadi?” bentakku lantang tanpa ampun.
Wajah bringas yang kutampakkan membuat siswa yang kuhampiri tunduk pasi. Tatapannya tak mampu menembus pelototan mataku. Kutarik tangannya agar ia dapat mengikutiku ke depan, Dalam kebisuan yang tak tertata siswa itu membuntutiku cemas.
“push up 20 kali” kusambung ucapanku kemudian.
Dalam kebisuan dan kekecewaaan siswa itu menuruti perintahku. Denyutan jantungku makin tak tertata, Kata-kataku bergetar dan sekujur tubuhku mengeluarkan keringat.
Rasa kasihanku mencaciku seakan aku tega menghukum murid yang sangat tak tau apa-apa. Kegundahan hatiku berkata, aku harus bagaimana? Tolong, katakan kepadaku. Apa yang harus kulakukan agar engkau tak ramai sendiri wahai anakku, saling lempar pulpen, saling berbisik di balik kelengahanku. Engkau tak menghargai kataku. Engkau bicara ketika aku sedang bicara tentang ilmu hikmah. Engkau bercanda ketika aku sedang serius membimbingmu. Meski tak pernah kubiarkan sekecil luka melekat di hatiku akibat kesalahanmu. Tetapi, apalah daya aku tak mampu mengontrol kekecewaan yang selalu kudapati setiap menit, bahkan setiap detiknya. Teriakan lantangmu telah memecah segala mutiara yang hendak kuberikan kepadamu. Tapi sirna, semua mutiara itu telah terkubur bersama murka yang kulampiaskan bersama kemarahan yang berakhir seperti ini. Akhirnya kita gak belajar pagi ini kan? Padahal waktu-waktu seperti inilah keberkahan dan kematangan ilmu itu mudah didapat.
Kusapa gerakan push up muridku, sungguh, aku tak tega tuk memperlakukan murid yang telah diamanahkan tuk kudidik, kubimbing, kusayangi, dan bahkan kucintai. Deraian keringat meneteskan butiran kesedihan yang membuat bola mataku miris memandangnya. Demi, Allah, aku benar-benar kasihan menatapnya.
Apa yang kualami hari ini bukanlah yang pertama kali. Tapi tidak sampai separah ini. Inilah sejarah yang kesekian kali yang telah mencabit-cabit hatiku di kelas ini dan aku heran ini hanya terjadi di kelas ini. Semua tenaga dan potensi telah kukerahkan agar diriku dapat membimbing mereka, mengajari mereka, mengenalkan mereka tentang ilmu hikmah agar mereka mengetahui kebaikan yang sejati. Aku tak berdaya dengan diriku yang lemah ini.
Sering kumenangis seorang diri di atas sajadah biru, memohon kepada Rabb-ku, agar siswa-siswiku diberikan petunjuk dengan HidayahNya. Agar mereka tak sibuk sendiri seperti yang kudapati hari ini, agar mereka mengerti keinginanku yang begitu besar. Namun semua itu, tak sejalan dengan harapan besar itu.
Allah, kusebut namaMu dalam bisikan jiwaku. Apa yang harus kulakukan? Engkau telah menyaksikan segala kekasaranku kepada siswa-siswiku. Bukan hanya hari ini, melainkan sepanjang hari ketika kutatap impian besar yang terukir di wajah-wajah mereka. Aku belum bisa bersabar dengan "kebodohan" mereka. Aku sangat kejam kepada mereka.
Kemarin, ketika bell yang sama berbunyi di kalas 2. Samar-samar kedua telingaku menangkap suara dari lisan siswi berjilbab putih.
“Asyiiik…waktunya habis tad” begitulah ucapnya.
Miris hatiku mendengar ucapan itu. Aku memang mengajar di pesantren ini 39 sks dalam satu minggu, aku sadar itu akan membosankan bagi mereka karena yang mereka lihat hanya wajahku. Ternyata hampir setiap guru mengeluh dengan wajah getir yang tak mampu terucap dalam lisan. Serasa siswa-siswiku berjoget ria, bahkan menari-nari di depan mata kesedihan, karena mereka senang berpisah dengan gurunya. Seakan, gurunya adalah srigala kejam, yang setiap saat mereka harapkan ketidak hadirannya.
Beginikah aku, yang begitu kejamnya, hingga kehadiranku tak pernah mereka impikan, terlebih mereka cita-citakan. Tidak apalah kalau mereka tak menginginkanku, "tolong kalian sabar nakku.., aku memang hanya sebentar di sini, setelah menunaikan tugas aku akan pergi mengabulkan pinta kalian." Mereka memoles senyum ketika ketua kelasnya mendapatkan khabar yang selalu dinanti, aku izin tak dapat mengajar karena ada undangan di luar. Dan siswa-siswiku bersorak-sorak melampiaskan kegembiraan mereka, aku hanya tersenyum miris, itu mungkin pantas karena aku merasa, akulah sang durjana. Guru terlaknat yang memuntahkan murka, ketika seorang siswa-siswi melakukan kesalahan.
Emosiku begitu tinggi, guncangan ambisi terkadang lebih mendorongku berbuat kasar. Siswiku, yang begitu indah wajahnya, begitu menawan kelopak matanya, yang begitu polos pengetahuannya, serta merta kuhukum dengan kata-kata yang mungkin baginya sangat kasar. Seketika butiran keringat membasahi wajahnya. Sesekali tangannya yang ramping mengusap dengan jilbab. Wajah itu masih melekat dalam memori penyesalan ini. Tapi waktu itu aku sangat puas melampiaskan hukumanku. Aku senang. Begitulah.
Seketika siswiku itu lemas tak berdaya dan tersungkur di bawah senyuman temannya. Lalu tiba-tiba aku cemas, aku khawatir akan sesuatu yang terjadi kepadanya. Bukankah aku yang telah menghukumnya, dan aku pula yang khawatir kepadanya. Khawatir siswiku itu akan sakit, hingga esok aku tak dapat memapas senyum di wajahnya. Aku tau dia pura-pura sakit, temannya bilang dia sakit hati karena kumarahi.
Allah, kusebut lagi NamaMu pagi ini. Di waktu yang sama. Inilah aku yang kasar. Inilah aku yang tak sabar menunaikan amanahMu. Hendak kukemanakah jasad ini, disaat hatiku penuh dengan noda dosa. Syetan telah berhasil menyusup dalam jiwaku, dan memompaku tuk memuntahkan amukan kepada siapa saja yang kudapati menyeleweng dari keinginanku.
Kusapa hangat wajah siswaku yang tadi kuperintahkan tuk push up. Kupegang pundaknya dengan tatapan cinta di mata ini. Kuusap keringat di keningnya dengan sehelai sapu tangan. Aku tak tega, menikmati pemandangan yang mungkin dapat merusak psikologinya. Aku tak kuasa bernyanyi ria dengan nafasnya yang tersendat-sendat. Aku tahu, siswaku itu telah menunaikan titahku, sekalipun itu hukuman yang sangat berat. Mungkin aku terlalu besar mengharapkannya menjadi yang ideal akan tetapi aku belum memberinya motivasi besar yang akan dapat mewujudkan harapanku, dan aku tau tak seorangpun dari mereka yang berani menolak murkaku. Karena siswaku itu tahu, aku sangat kasar. Dan sering kali, kekasaranku terlampiaskan kepada siswa-siswiku yang masih polos dan belum mengerti keinginanku.
Allah, lihatlah! Butiran kristal air mataku menetes membasahi pipiku. Aku takkan pernah menangis di depan siswa-siswiku. Kalau pun mereka tau aku yakin mereka cinta ilmu yang kuberi. Aku memang sering melihat cahaya di mata mereka. Melihat pancaran cinta yang terukir dari tatapan mata mereka.
Sungguh, aku tak mampu mendorong keberanian hatiku tuk mengatakan bahasa kasih sayang di hati ini. Meski jujur, sungguh, aku sangat menyayangi mereka. Andaikan mereka mampu kupeluk, aku kan memeluk mereka. Mendekap mereka dengan cinta seorang guru kepada muridnya. Mengecup kening mereka yang bening dengan kelembutan abadi. Dengan kelembutan CintaMu.
Kutundukkan pandangku, menyangga kepalaku di atas meja, kupangku kedua tanganku dan kudapati air mataku tertumpah menetes di atas meja itu. Serentak suara jasad menyusuri telingaku. Aku tak percaya, aku menangis di depan mereka. Diantara mereka ada yang menangis di depanku.
“Maafkan kami, tad.!” ucap salah seorang murid yang telah kuhukum beberapa menit lalu. Aku hanya membisu menata keadaan.
 “Kami telah membuat ustad menangis” ucapnya lagi bersama isak tangis yang membuat hatiku terenyuh mendengarnya.
“Air mata ini adalah dosa yang telah ustad perbuat kepada kalian, maafkan ustad ya nak…maafkan gurumu ini” kataku tanpa kubendung air mata yang masih mengalir deras.
“Kami yang nakal ini telah membuat luka di hati ustad. Hingga ustad sedih. Kami berjanji ustad. Kami berjanji takkan mengulangi kenakalan kami”.
“Tidak anakku, ustadlah yang kurang sabar dalam mendidikmu. Gurumu yang lemah ini belum mampu memahamkanmu tuk mengerti keinginan hati ustad. Sekali lagi, maafkan ustad…”.
“Air mata ini adalah dosa yang telah bapak perbuat kepada kalian, maafkan bapak ya nak…maafkan gurumu ini” kataku tanpa kubendung air mata yang masih mengalir deras.
Siswa laki-lakiku tiba-tiba mendekapku. Memelukku erat. Kubiarkan semua deraian air mata ini menyusuri pipiku. Hingga kurasakan dalam jiwaku kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan. Tiba-tiba kudengar bisikan salah seorang dari mereka "ustad ikhlash dengan ilmu yang antum beri, iya kan?" aku hanya mengangguk tak mampu menjawabnya lagi.
Siswa laki-lakiku tiba-tiba mendekapku. Memelukku erat. Kubiarkan semua deraian air mata ini menyusuri pipiku. Hingga kurasakan dalam jiwaku kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan. Tiba-tiba kudengar bisikan salah seorang dari mereka "ustad ikhlash dengan ilmu yang antum beri, iya kan?" aku hanya mengangguk tak mampu menjawabnya lagi.
#          #          #
Malam ini sangat indah melukiskan ketenangan yang memuncak pada ukiran sempurna, aku baru ingat ini malam ke 14 dari bulan hijriyah, pantas kulihat bulan membulat bak bola meluncur terhempas dari tendangan bengis pemainnya, malam ini perutku sedikit sakit makanya aku tak sempat mengontrol kegiatan anak-anak, kutatap mukaku di cermin yang sudah retak ujungnya, kuperhatikan wajah itu lumat-lumat, jiwaku berbisik seakan memanggil siapa yang ada dalam pantulan itu, aku tersenyum ringan membisikkan sebuah haluan lembut, "hei… kenapa mukamu pucat?" Bisikku. Terlalu banyak beban yang kau emban? itu belum seberapa, bukankah kewajiban itu lebih banyak dari pada waktu yang tersedia? Yuk bangkit jangan cengeng dengan rasa-rasa sakit yang hanya sedikit.! Aku tersenyum kecut mendengar bisikan hati kecilku. Ya Rabb.!! Kekuatanku berasal dariMu, perkokohlah mentalku.
Kubaringkan tubuhku di atas sebuah kasur yang sudah memudar warna aslinya, kupejamkan mata mencoba meraih ketenangan di sana, tak sadar mataku membasah dan tiba-tiba air itu menggelinding di celah pipiku dan jatuh di bantal tempatku memapahkan kepala, aku heran kenapa ini bisa terjadi?
Ditengah gundahku tiba-tiba hapeku berbunyi, ada sms masuk kulihat isi dalamnya ternyata pesan dari coordinator pengabdian aceh akh kamaludin isi pesannya lebih kurang "awladi al-ahibba' dengan taqdir Allah sekarang nanda berada di tempat yang belum terbayangkan sebelumnya, belajarlah berbuat untuk kemenangan islam, untuk sabar dalam menghadapi masyaqqatil haya, untuk bijak dalam menghadapi kerasnya watak manusia, selalu menghargai asatidzmu, jangan pragmatis, jangan materialistis, yakinlah bahwa maa 'indallahi baaq, manfaatkan khidmah ini untuk mengokohkan diri dengan iman dan amal nyata. Dari: BASYA" membaca sms ini semangatku pulih kembali, tujuanku tergambar lagi, aku tau pesan ini berasal dari sesosok yang kami cintai dan kami sangat segani. Pesan ini berasal dari ust. Bakrun Syafi'i. guru spiritual kami.
Diakhir petualanganku di pesantren ini, sangat tidak terasa perjalanan 1 tahun telah banyak merenggut batang usia dan waktuku, semoga bermanfaat bagi pesantren ini lebih-lebih bagi siswa-siswiku, dan semoga apa yang telah kulakukan dicatat disisiNya agar dapat menjadi timbangan berat pada yaumul hisab nanti. Sekali lagi aku meneteskan air mataku, sungguh aku tak tega meninggalkan anak-anakku yang telah kudidik dan telah memulai menemukan hakikat perjuangan, dan yang paling tidak tahan adalah perpisahan dengan ikhwah-ikhwah yang telah menjadi keluargaku di sini.
Malam setelah wisuda santri kelas akhir, kami diantar oleh pimpinan pesantren ke kota medan untuk membeli tiket pesawat. Lambayan tangan dan tangisan anak-anakku menyapa pergeseran jalannya mobil yang kami naiki. Tangisku pecah sedu sedan.
Perlahan pemandangan kutacane semakin jauh tertinggal  di belakang, semua kenangan itu kembali terngiang di benakku. Selamat tinggal anak-anakku, selamat tinggal kutacane, selamat tinggal ikhwah semua, semoga Allah mempertemukan kita kembali. Amin.